Ia terlahir ke dunia ini dengan nama Aji. Ya, panggil saja Aji. Pria
yang satu ini benar-benar senang berhitung. Ia akan menghitung apa saja
yang ditangkap oleh matanya, direkam oleh te linganya, dan dikecap oleh
hatinya. Misal, mengkalkulasi tapak kakinya ke sekolah, lalu mencacah
burung dissermurus paradiseus yang meliuk-liuk di langit cerah,
menganalisa sebaran awan putih yang terkatung-katung di langit biru,
meramal peluang hujan, membilang banyaknya dedaunan yang gugur per
satuan waktu, dan entah apa lagi.
Suhari termangu. Di
teras rumahnya kini ia suka menghabiskan waktu. Sepanjang pagi hingga malam, ia
bersarung duduk tepekur dibungkus sepi. Menanti kedatangan seseorang dari pohon
mangga dekat pagar rumah. Sesekali tetangganya yang kebetulan lewat menyapanya.
Ada yang berniat basa-basi atau sekedar mengajak Suhari ke warung kopi. Tapi ia
tak terbit selera.
Sudah hampir sebulan
lamanya senyum di wajah Suhari redup. Pudar dikunyah Lastri, istrinya. Semenjak
kepergian Lastri entah kemana, Suhari seolah tak bergairah lagi untuk hidup. Ia
tak lagi ke sawah merawat padi-padinya yang siap diketam atau ke ladang untuk mengurus
pisang dan ubi kayunya.
Dicerupnya lamat-lamat
rokok kreteknya itu. Pikirannya terus bertanya dimanakah gerangan Lastri
berada. Tatap matanya yang kosong melanglang lepas melewati pagar, pucuk daun, membumbung
di genting tetangga lalu jauh ke ufuk senja tak bertepi. Sungguh kasihan
Suhari. Raut mukanya mulai menampakkan tulang pipinya. Kulitnya menghitam.
Kumis dan jenggotnya memutih tak terawat. Mengapa ia tega sekali
meninggalkanku? Batinnya membuncah.
Matahari seolah bersinggungan dengan langit. Sinarnya yang terik menancap ubun-ubun. Awan tipis mengalir perlahan bagai serpihan kapas putih yang mengapung. Udara gerah menyisir suasana. Hari tengah mencapai puncaknya.
Seperti biasa, jika siang menyapa maka markas bercat putih itu pun mulai sunyi. Hanya sesekali kesunyian itu terganggu. Tak ada aktivitas yang berarti. Di halaman depannya, tiga praja berseragam coklat muda tampak duduk bersandar di bawah pohon ketapang besar. Ketiganya asyik bercerita tentang tugas baru mereka minggu ini sambil menghisap beberapa djarum. Sementara itu, sebagian praja yang lain menghabiskan waktu dengan berkumpul di kantin untuk sekedar ngobrol atau makan siang. Sisanya, telah dikerahkan ke pusat kota usai apel tadi pagi untuk menertibkan para pedagang yang berjubel di emperan toko.
Pak Burhan terhenyak di kursi kerjanya. Pikirannya yang kalut membuat ruangannya terasa sempit dan menggigit. Jam dinding Seiko menjadi saksi bisu kegalauan hatinya. Surat perintah penggusuran pemukiman warga pusat kota yang baru saja ia terima dari dinas tata kota itu telah melilit kepalanya. Ia mencoba menenangkan pikirannya. Tapi, sia-sia. Beban yang menghantui benaknya itu tak mau sirna.