Sabtu, 04 Februari 2012

Surat Cinta Untuk Ibu

Manado, 22 Desember 2011
Special for My Lovely Mom

Semoga Allah senantiasa merahmatimu Wahai Ibu

Salam cinta penuh kasih dan rinduku hanya untukmu ...

                Detik masih terasa berdetak. Waktu seolah terus bergulir merangkai begitu banyak kisah suka maupun duka. Tak terasa usiaku akan segera beranjak 20 tahun. Aku mulai dewasa. Kuputar rekam jejak perjalanan kehidupanku dari masa silam hingga sekarang. Hatiku terlena mengenang sengkarut cerita-cerita itu. Ada bahagia yang bercampur sedih tatkala pandanganku terpaut pada sosok yang begitu istimewa dalam hidupku. Tak ada yang mampu menggantikannya dalam relung hati dan pikiranku. Dialah Ibuku tercinta.

           Mak. Aku lebih suka menyapamu dengan panggilan itu. Lidahku telah terbiasa sejak kecil melontarkan kata itu jika hendak menyapa atau memanggilmu. Mak tahu kan, tak ada yang mengetahui batas usia seseorang. Sama halnya denganku. Aku tak tahu kapan Tuhan memanggilku. Tahukah Mak? Jika Tuhan memanggilku sekarang, yang kusedihkan bukanlah perpisahan dengan dunia ini. Namun, yang membuat hatiku sedih adalah apa yang harus kukatakan kelak kepada Allah jika aku belum bisa mengulas senyum bahagia di wajahmu. Aku sedih dan merasa tak ada apa-apanya jika belum bisa membahagiakanmu di dunia yang singkat ini, Mak.

            Mak, melalui surat cinta sederhana ini, izinkanlah anandamu ini mencurahkan begitu banyak rasa dalam dada. Rasa yang selama ini kadang berkecamuk tak menentu. Namun juga  kadang bergelora tak bertepi penuh cinta. Surat ini kutulis untukmu seorang, Mak. Special for my lovely mom. Sosok tercantik dan teranggun yang selalu hadir dalam hatiku. Kuharap Mak tersenyum membacanya karena kutahu betapa besarnya cinta Mak padaku.

Wahai Ibuku yang lembut dan cantik hatinya, aminkanlah ini ...

            Tak berhingga banyaknya syukur yang telah kupanjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan yang Maha Rahman lagi Maha Rahim atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepadaku. Mak, kau adalah anugerah terbesar dari-Nya untukku. Syukur terbesarku karena engkau masih diberikan nikmat kesehatan dan keimanan oleh Allah hingga saat ini. Kau yang telah mengandungku selama sembilan bulan, melahirkanku, menyapihku selama dua tahun hingga mendidik dan mengajariku berbagai hal serta membesarkanku sehingga bisa seperti sekarang ini. Air mataku menetes mengenang masa-masa terberat itu Mak. Aku tak mungkin pernah bisa membalas segala yang telah Mak berikan untukku. Semoga Allah senantiasa merahmatimu dengan penuh cinta, Mak.

Ibuku yang begitu hebat, bacalah ini ...    

            Mak, aku masih bisa merasakan hangat dan mesranya dekapanmu ketika aku masih kecil. Bahkan hingga sekarang dekapan hangat cintamu itu masih terus kau berikan. Meskipun agak risih tapi jujur aku suka itu, Mak. Aku suka dipeluk olehmu. Mak tak hanya memeluk tapi juga membelai rambutku. Dan itu yang sering membuatku rindu jika ku jauh darimu Mak. Mak memang sungguh hebat dan begitu luar biasa bagiku.

            Ketika aku masih kecil dan tak tahu apa-apa, Mak selalu setia menjagaku saat kutertidur di atas kasur dengan wajah lucu dan menggemaskan. Mak selalu mendendangkan lagu khas Makassar yang penuh harapan dan doa-doa sebagai pengantar tidurku. Mak terus menjagaku dan memastikan agar aku bisa menikmati mimpi-mimpi kecilku dengan nyaman. Meskipun waktu tidur Mak sering terusik oleh jeritan-jeritanku di tengah malam karena kehausan. Tak hanya itu, Mak membersihkan kotoranku, memandikanku, menyisir rambutku hingga mengenakan pakaian yang bagus dan bersih untukku. Begitu banyak hal yang telah Mak lakukan untukku hingga kini kuberanjak tumbuh dewasa dan menjadi pria tampan menurut Mak. Semuanya tak mampu kulukiskan satu per satu, Mak. Mak tak pernah mengeluh melakukan semua itu. Satu hal yang kutahu pasti, pengorbanan Mak begitu ikhlas penuh cinta untukku. Mak begitu hebat dalam hidupku.      


Duhai Ibuku yang anggun penuh pesona, dengarlah ini ...

            Apakah Mak masih ingat kisah yang satu ini? Kuyakin Mak masih ingat betul. Belum sirna dalam ingatanku kala itu Mak. Mak memegang tangan kecilku dan menuntunku menuju ke SD yang cukup dekat dengan rumah kita. Ya, Mak berniat mendaftarkanku untuk bersekolah. Padahal usiaku baru lima tahun, Mak. Aku malu dengan teman-teman sekelasku yang berusia lebih tua setahun atau dua tahun dariku. Aku menangis karena merasa paling muda dan kecil di kelas itu. Aku belum mau sekolah, Mak. Tapi kata-kata Mak saat itu telah menyulut dan membakar semangatku hingga sekarang. Mak berkata, “Tak perlu takut dan bersedih, Mir. Amir pasti bisa. Sekolah itu menyenangkan. Amir bisa punya banyak teman dan Mak akan memberikan uang jajan setiap hari.” Kata-kata itu melekat kuat dalam benakku, Mak. Ada satu hal yang membuatku tersenyum jika mengenangnya. Untuk menghentikan tangisanku, Mak mengeluarkan uang kertas lima ratus rupiah dan menyodorkannya kepadaku. Ingat kan, Mak? Sejak saat itu, aku jadi bersemangat belajar di sekolah berkat dorongan dan semangat yang begitu besar dari Mak.

Ibuku sayang, aku tak bisa hidup tanpamu  ...

            Aku tahu Mak begitu sayang dan cinta sepenuh hati padaku. Walaupun dulu ketika aku masih SD, aku begitu bandel dan tak mau mendengar nasihat dan perintah Mak. Aku tahu itu salah. Tapi itu kulakukan karena aku belum mengerti banyak hal meskipun aku saat itu sudah duduk di bangku kelas lima. Jujur aku benci jika harus mendengar suara menggelegar Mak ketika memarahi atau membentakku. Kepalaku seperti mau pecah. Batinku selalu menggerutu tak karuan ketika mendengar suara Mak yang berisik. Namun, kini kusadar bahwa ternyata semua itu sangat berharga bagiku. Seiring dengan usiaku yang lambat laut terus bertambah, kini pikiranku sudah mulai terbuka, Mak. Aku sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Itu semua berkat doa dan didikanmu. Sekarang Mak sudah jarang memarahiku.  Aku rindu dengan kata-kata Mak dulu jika memarahiku yang kini sama sekali tak pernah kudengar lagi.      

Ibu, dikau segalanya bagiku ...

            Mak, aku hampir lupa. Melalui surat istimewa ini, aku ingin meluapkan kekesalanku dulu saat aku sedang menikmati masa remaja di SMP. Setelah lulus SD dengan prestasi yang memuaskan berkat uang lima ratus rupiah sebagai awal penyemangatku, Mak menyuruhku untuk melanjutkan SMP di Makassar dan tinggal bersama Kakek. Dua tahun aku di sana tanpa Mak. Aku tak suka itu Mak. Setiap malam aku rindu dengan teduhnya wajah Mak, lembutnya belaian tangan Mak, hangatnya pelukan dan belaian Mak, teduhnya tatapan mata Mak, uniknya celoteh Mak, manisnya senyuman Mak, hingga begitu sedapnya masakan Mak yang selalu dihidangkan setiap aku pergi dan pulang sekolah. Aku rindu semuanya itu Mak.

            Ketahuilah Mak, ketika Mak meninggalkanku di sana bersama Kakek, aku seolah kehilangan penyangga hidup. Begitu banyak cerita di sekolah yang ingin kuluapkan bersama Mak. Mak tahu kenapa? Karena Mak adalah satu-satunya pendengar terhebat di dunia yang pernah kumiliki. Namun, semua cerita indah atau pun sedih yang kujumpai di sekolah hanya mampu kutelan sendiri bersama benakku, Mak. Aku sempat kesal waktu itu. Pernah suatu malam, aku begitu merindukan Mak hingga titik-titik bening keluar dari sudut mataku. Kuseka perlahan air mata itu ketika tiba-tiba kuterbayang wajah Mak yang sedang tersenyum sambil berkata,”Anak laki-laki tak boleh menangis. Amir harus kuat. Bersemangatlah belajar. Yakinlah Amir pasti bisa.” Aku malu menceritakan hal ini kepada Mak. Tapi kapan lagi kuceritakan hal ini kalau bukan sekarang. Maafkan aku Mak jika selama ini pernah terbesit dalam hatiku rasa kecewa atau kesal padamu. Mak adalah segalanya bagiku.

Ibuku yang kucintai,  mendekatlah dan dengarlah bisikan hatiku ini ...

            Jika ada yang menanyakan siapakah wanita paling sempurna dalam hidupku, tanpa berpikir panjang akan langsung kupekikkan dengan lantang namamu yang indah Mak. Biar semua orang tahu bahwa aku punya Mak yang hebat dan luar biasa sepertimu dalam hidupku. Aku cinta Mak. I love you so much, mom. You are so special for me.

            Sungguh masih begitu banyak pengorbanan-pengorbanan tulus yang telah Mak berikan dengan cucuran keringat dan airmata untukku. Akan tetapi, apa yang pernah kuberikan untukmu Mak. Aku belum bisa membalas satu pun pengorbananmu. Aku belum bisa menjadi pendengar dan teman bicara yang baik untukmu. Aku belum bisa membiarkanmu duduk bersantai tanpa pekerjaan sedikit pun. Aku juga belum bisa memasak masakan yang lezat untukmu seperti lezatnya makanan yang Mak suguhkan padaku. Aku tak mampu melayani Mak seperti Mak melayaniku sewaktu kecil. Aku hanya bisa memberi separuh uang hasil kerja paruh waktuku untukmu, Mak. Semuanya itu tak sebanding dengan semua pengorbanan yang telah Mak lakukan untukku.

            Aku tak ingin melihat air mata Mak jatuh membasahi pipi Mak yang mulai lekang dimakan usia. Kuingin membahagiakan Mak sebelum waktu memisahkan kita. Entah kapan hal itu bisa kuwujudkan. Kutahu Mak ingin naik haji bersamaku. Tenang saja, Mak. Insyaallah niat itu akan segera tercapai. Doakan aku mengejar mimpi-mimpiku, Mak. Karena doa Mak adalah percepatan bagi kelancaran aliran rezekiku dari Yang Maha Pemberi Rezeki.

            Terima kasih Mak telah membaca surat cintaku ini. Terimalah ungkapan cintaku yang tulus yang tak mampu kuurai secara langsung. Peluk dan ciumku hanya untukmu Mak. Sekali lagi ingin kutegaskan Mak,  I Love You so much.                                                 

                                                                                             Salam Ananda,


                                                                           Amir Tjolleng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar