Amir Tjolleng
Matahari seolah bersinggungan dengan langit. Sinarnya yang terik menancap ubun-ubun. Awan tipis mengalir perlahan bagai serpihan kapas putih yang mengapung. Udara gerah menyisir suasana. Hari tengah mencapai puncaknya.
Seperti biasa, jika siang menyapa maka markas bercat putih itu pun mulai sunyi. Hanya sesekali kesunyian itu terganggu. Tak ada aktivitas yang berarti. Di halaman depannya, tiga praja berseragam coklat muda tampak duduk bersandar di bawah pohon ketapang besar. Ketiganya asyik bercerita tentang tugas baru mereka minggu ini sambil menghisap beberapa djarum. Sementara itu, sebagian praja yang lain menghabiskan waktu dengan berkumpul di kantin untuk sekedar ngobrol atau makan siang. Sisanya, telah dikerahkan ke pusat kota usai apel tadi pagi untuk menertibkan para pedagang yang berjubel di emperan toko.
Pak Burhan terhenyak di kursi kerjanya. Pikirannya yang kalut membuat ruangannya terasa sempit dan menggigit. Jam dinding Seiko menjadi saksi bisu kegalauan hatinya. Surat perintah penggusuran pemukiman warga pusat kota yang baru saja ia terima dari dinas tata kota itu telah melilit kepalanya. Ia mencoba menenangkan pikirannya. Tapi, sia-sia. Beban yang menghantui benaknya itu tak mau sirna.