Minggu, 29 Mei 2011

Di Antara Pilihan

Amir Tjolleng

            Matahari seolah bersinggungan dengan langit. Sinarnya yang terik menancap ubun-ubun. Awan tipis mengalir perlahan bagai serpihan kapas putih yang mengapung. Udara gerah menyisir suasana. Hari tengah mencapai puncaknya.
            Seperti biasa, jika siang menyapa maka markas bercat putih itu pun mulai sunyi. Hanya sesekali kesunyian itu terganggu. Tak ada aktivitas yang berarti. Di halaman depannya, tiga praja berseragam coklat muda tampak duduk bersandar di bawah pohon ketapang besar. Ketiganya asyik bercerita tentang tugas baru mereka minggu ini sambil menghisap beberapa djarum. Sementara itu, sebagian praja yang lain menghabiskan waktu dengan berkumpul di kantin untuk sekedar ngobrol atau makan siang. Sisanya, telah dikerahkan ke pusat kota usai apel tadi pagi untuk menertibkan para pedagang yang berjubel di emperan toko.
            Pak Burhan terhenyak di kursi kerjanya. Pikirannya yang kalut membuat ruangannya terasa sempit dan menggigit. Jam dinding Seiko menjadi saksi bisu kegalauan hatinya. Surat perintah penggusuran pemukiman warga pusat kota yang baru saja ia terima dari dinas tata kota itu telah melilit kepalanya. Ia mencoba menenangkan pikirannya. Tapi, sia-sia. Beban yang menghantui benaknya itu tak mau sirna.
            Memang, bukan masalah lagi bagi Pak Burhan untuk melakukan eksekusi alias penggusuran. Ia sudah terbiasa mengeksekusi. Eksekusi apa saja asalkan itu perintah pemerintah. Selama ini, ia dikenal sebagai eksekutor yang tegas apalagi untuk kasus eksekusi lahan sengketa. Tahun lalu saja, ia berhasil mendandani wajah pusat kota menjadi berseri dengan mendepak PKL walaupun hingga kini ia masih menuai kecaman dan dendam kesumat.
            Namun, kali ini ada hal yang membuatnya risau. Bahkan, belum pernah ia serisau ini sebelumnya. Betapa tidak, 2 hari lagi ia harus menggusur pemukiman warga di pusat kota itu.
            “Haruskah kugusur tempat itu? Bagaimana dengan Hanif jika mengetahui hal ini? Apa yang akan terjadi dengan anakku itu? Bagaimana dengan jabatanku jika aku tak menjalankan perintah ini? Apakah aku sanggup menerima semua resikonya?” Pertanyaan-pertanyaan itu mengusik pikirannya. Ia bagaikan berada pada sebuah ketinggian yang di depannya ada jurang menganga.
            Seiko yang menggantung di dinding seolah memekik miris saat menyaksikan kedua tangan Pak Burhan menopang dahinya yang makin berat dan silau itu. Kumisnya berkeringat. Semburat sinar matahari mengintip kegundahan hatinya. Gerah mendesak ruangan. Uhg, ia bergegas keluar dari ruangan yang terus menohok dirinya. Ia menjurus ke area parkir dengan melempar secercah senyum kepenatan ke arah tiga praja tadi yang spontan gelagapan menyembunyikan djarumnya di balik punggung masing-masing. Asap yang mengepul tak mungkin berbohong.
            “Mana Hanif, Ma?” Tanya Pak Burhan pada istrinya setibanya ia di rumah. Risau masih menggelayuti jiwanya.
            “Mungkin sedang tidur di kamarnya. Hari ini ia tidak ke kampus. Kok, pulangnya siang? Ada apa, Pa?” Serang Bu Rita yang saat itu sedang membaca majalah di ruang tengah.
            Hanif yang belum lama masuk kamar tersentak kaget mendengar namanya disebut. Ia memang tak tidur. Tak biasa ayahnya seperti itu. Ia dibuat penasaran. Matanya yang tak memandang telah menjadikan telinganya peka sehingga ia tahu dari mana asal suara itu. Dilepasnya pena yang baru menari di tangannya lalu berlari menuju pintu kamar. Ia menempelkan telinganya di balik pintu itu berharap dapat meluapkan rasa penasaran pada ayanya saat itu juga.
            “Gusur saja perkampungan itu, Pa! Semuanya berada di tanganmu. Papa tak perlu pusing. Gusur saja! Toh, kalau berhasil kita juga kan yang untung! Reputasi Papa bisa naik di mata pemerintah.” Sergah Bu Rita setelah mendengar luapan kegalauan hati suaminya itu.
             “Papa tahu itu, Ma! Tapi, masalahnya bagaimana dengan Dian dan ibunya? Hanif pasti tidak akan tinggal diam. Papa merasa tak tega melakukan penggusuran itu selama Dian dan ibunya masih tinggal di sana!” Lanjut Pak Burhan dengan air muka makin tak menentu.
            “Mana ketegasan Papa yang dulu Mama kenal? Mengapa hanya karena mereka, Papa jadi begini? Buat apa pusing-pusing memikirkan mereka?” Istrinya menyela kembali. Pak Burhan terdiam menahan sesak hatinya.
            “Apa karena Hanif? Mama tetap tak setuju Hanif dengan Dian! Mama hanya mau Papa menggusur tempat itu seperti perintah pemerintah. Papa tak perlu memikirkan mereka. Gusur saja, Pa! Itu sudah tugas Papa. Jangan hiraukan mereka lagi!” ketus Bu Rita makin kesal. Ia kembali mencoba meyakinkan hati suaminya.
            “Cukup, Ma!!!” Bentak Pak Burhan penuh emosi.
            “Mama hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli lagi dengan kebahagiaan keluarga! Mama hanya membuat Papa tambah pusing!” Tambahnya marah. Benaknya tersudut. Sementara Bu Rita hanya bisa menelan paksa semua ucapan suaminya itu. Pahit.
            Hanif terpaku mendengar perseteruan kedua orangtuanya itu. Darahnya tersirap. Telinganya seperti disengat lebah. Sakit. Ia ingin menggubris hal itu tapi ia luluh oleh perasaannya sendiri. Kata-kata yang lahir dari mulut orangtuanya bagaikan peluru yang menyeruak di atas kepala, terdampar dan karam di perut ingatannya. Rasa penasarannya berhias menjadi gelisah. Kegelisahan ayahnya merambat ke medan ingatan yang menggema dalam hatinya. Diaaannn………,hatinya menjerit.
***


            Ia masih bisa menikmati birunya langit. Siang itu, sehabis kuliah ia tak langsung pulang. Kata-kata ayahnya kemarin masih lekat dalam ingatannya. Pikiran yang berkecamuk telah menggiringnya untuk mengunjungi sebuah rumah yang sudah tak asing lagi baginya. Rumah itu masih seperti dulu. Kalau pun ada perubahan, waktulah yang telah mengubahnya. Cat dindingnya sudah mulai mengelupas. Sebagian kayu yang menyangga pinggir atapnya pun telah lapuk dimakan usia. Hanya, rumah itu sekarang sudah berpagar dan punya warung kecil.
            Hanif memarkir motornya persis di depan warung itu. Ia termanggu sejenak, mencoba menenangkan ritme hatinya yang tak menentu. Perlahan ia melangkah masuk. Akh, pandangannya menangkap sosok yang telah lama menjerat hatinya. Dipandanginya sosok itu lekat-lekat. Masih, tak bergeming sedikit pun. Sosok itu hanya duduk termenung memegang sebuah surat. Hanif tak ingin menggubris surat itu. Ia tahu betul di dalamnya pasti dibubuhi tanda tangan ayahnya. Hanif mencoba mendekatinya.
            “Apa yang membuatmu menjadi sedih seperti ini, Dian?” Hanif bertanya hal yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Dian tak menjawab. Malah ia meremas surat itu. Remuk.
            Hanif terhanyut dalam suasananya sendiri ketika memandang kerjap mata yang nanar dari seraut wajah Dian. Di balik wajah sendu itu teramat nyata tersemburat perasaan galau. Hanif terpaku. Dian terdiam. Tertegun dalam keheningan.
            Semilir angin manja mencumbu mesra wajah Hanif. Ia tersentak. Lamunannya buyar seketika. Sekilas ia kembali menatap Dian. Masih sama. Nuansa teduh dan rindang tak terpancar dari cahaya matanya. Serangkai senyum belum terukir di wajahnya. Hanif bingung. Sinus kosinus hatinya bergetar membelah rasa. Ia mengatur nafasnya sejenak dan berusaha meyakinkan Dian kembali.
            “Kumohon jangan bersedih, Dian! Aku sedih melihatmu seperti ini.” Ungkap Hanif melahirkan perasaan yang dikandungnya.
            “Maafkan aku, Nif. Aku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Biarkanlah semua itu terjadi. Besok aku dan ibuku harus pergi dari sini. Kami tetap harus pindah.” Ujar Dian memandang Hanif. Keduanya beradu pandang. Diagonal-diagonal ruang hati mereka seolah saling berpotongan.
            “Kau tak boleh berkata begitu, Dian. Aku berjanji akan menolongmu. Sekarang juga aku akan pergi dan  berbicara dengan ayahku. Aku akan meminta agar penggusuran itu dibatalkan.  Aku tak ingin hal itu sampai terjadi di tempat ini!” Hanif mencoba menyalakan kembali semangat Dian yang hampir padam.
            “Ayahmu tak bisa memenuhi permintaanmu itu, Nif. Itu sudah perintah pemerintah. Lahan ini milik mereka. Kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pergilah, Hanif! Tinggalkan aku sendiri! Jangan kembali kesini lagi! Aku takut kalau warga disini sampai tahu bahwa ayahmu adalah kepala Satpol PP itu. Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpa dirimu.” Pinta Dian berharap Hanif mau mendengarkan keinginan terakhirnya itu.
            “Tak perlu khawatir dan putus asa seperti itu, Dian! Tenanglah! Sekarang juga aku akan berbicara dengan ayahku. Percayalah, penggusuran besok tak akan terjadi! Kumohon kau jangan bersedih lagi! Aku sangat menyayangimu, Dian. Aku akan selalu menemanimu.  Besok, aku berjanji akan kesini lagi.” Hanif mengakhiri pembicaraan dan segera beranjak meninggalkan belahan jiwanya itu. Bayangannya lenyap dalam tabir cinta yang membuncah.
            Ingin rasanya Dian berteriak sekeras-kerasnya untuk meluapkan berjuta beban yang menindih relung hatinya. Tapi, lidahnya terasa kelu. Kaku. Hanya titik bening yang keluar dari sudut matanya.
***
            “Darimana kamu tahu hal itu, Nak?” Suara Pak Burhan saat mendengar permintaan Hanif untuk membatalkan penggusuran itu. Ia terperangah. Matanya terbelalak lebar. Belum reda kepenatannya, ia kembali dibuat kalut.
            “Dari Dian, Pa! Gadis yang sering Hanif ceritakan kepada Papa! Hanif sangat mencintai Dian, Pa! Papa tahu semua itu, kan? Hanif mohon sekali lagi, Pa, batalkan penggusuran itu!” Hanif memuntahkan isi hatinya. Gerahamnya beradu sengit. Raut mukanya gelisah. Amuk nalarnya melanglang lepas.
            Jantung Pak Burhan mendadak berdebar kencang. Sesekali ia mengerutkan dahinya. Sebuah kehidupan kembali terkuak dengan sendirinya. Bayang-bayang dirinya menyelam ke masa silam. Masa dimana Hanif masih duduk di bangku SMA bersama Dian. Hanya ia yang paham bagaimana perasaan anaknya itu hingga saat ini.
            Namun, ia tetap harus memilih antara tugas atau keluarganya. Di tengah rasa sayang terhadap anaknya, ia diperhadapkan kepada tugas yang memaksanya untuk mengorbankan kebahagiaan anak tunggalnya itu. Selama ini, ia rela melakukan apa saja demi Hanif. Tapi, saat ini ia tak mampu berbuat apa-apa. Di satu sisi, ia tak ingin menggusur pemukiman itu. Namun, batinnya memberontak keras untuk tetap melaksanakannya.
            “Papa, telah berusaha membatalkan penggusuran ini, Nak, tapi…”
            “Tapi….!!! Tapi, apa Pa? Apakah Papa sama sekali tidak mengerti dengan perasaan Hanif? Hanif mohon, Pa! Batalkan penggusuran itu! Bagaimana nasib Dian jika hal itu sampai terjadi? Apa Papa tega melihat semua itu terjadi pada gadis yang Hanif sayangi? ”
            “Papa mengerti perasaanmu, Nak. Tapi, perintah itu harus tetap Papa lakukan. Lahan pemukiman itu milik pemerintah dan siapa pun tak ada yang dapat membatalkannya! Papa harap kau bisa mengerti hal ini, Hanif!”
            “Baiklah! Kalau itu yang Papa mau. Hanif tak akan meminta lagi! Tapi, Hanif akan membuat Papa merasakan kepedihan seperti yang dirasakan oleh warga yang digusur itu. Bahkan, lebih pedih dari itu!” Tutup Hanif penuh amarah. Hatinya bergemuruh. Nafasnya tersengal-sengal pendek. Usahanya ternyata gagal.
            “Mengertilah, Nak! Papa mohon jangan bertindak bodoh!” Pak Burhan mencoba menenangkan anaknya itu seraya bangkit berdiri.  Namun, usahanya sia-sia.  
            Hanif memacu langkah kaki sekencang-kencangnya meninggalkan bayang-bayang ayahnya itu. Ia kembali menyeret paksa motornya entah kemana. Hanya kesiur angin yang menuntun kepergiannya.
            Pak Burhan terdiam. Ketegangan mulai digiring waktu menjadi keheningan yang membungkam. Jejak suara anaknya itu menggema dalam telinga memantul-mantul bagai dalam gua yang tak berujung. Degup jantungnya terus berpacu dengan pikirannya. Nyeri terasa menusuk dada. Keringat dingin pun akhirnya lahir dari kuduknya bak sungai-sungai kecil yang menghanyutkan banyak buih. Tatap matanya yang berat menerobos kaca jendela melintasi pucuk pohon ketapang lalu melanglang buana ke langit menerawang jauh tak bertepi melintasi rona-rona suram.
***
             Hari penggusuran itu pun bertandang membawa kelam tanpa salam. Seiko menunjukkan pukul 8.30. Usai apel, Pak Burhan langsung masuk ke ruangannya yang tak lagi pengap. Ia berjalan hilir mudik. Hatinya begitu bimbang antara mengikuti hati nurani atau mengabulkan permohonan anaknya. Tetapi, ia tetap harus memilih. “Maafkan Papa, Nak. Papa terpaksa harus melakukannya.” Ia berusaha meyakinkan pikiran dan perasaannya.
            Tak berselang lama, ia keluar sambil mengatur letak ikat pinggangnya yang hampir melorot. Kumisnya yang menggelantung seolah menyibak beban pikirannya. Tak ingin dibuat penat, ia langsung mengerahkan seluruh personilnya untuk segera berangkat ke lokasi penggusuran. Cepat-cepat para personil itu naik ke atas truk seperti itik jinak yang dihalau oleh pemiliknya untuk memasuki kandang. Markas pun menjadi hening.
            Di lokasi penggusuran, warga pemukiman itu melempar protes. Mereka mengecam keras sikap pemerintah. Mereka menyebut-nyebut nama Burhan dibarengi sumpah serapah. Namun, mereka tetap tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak mampu menghadang para personil praja yang bertubuh kekar menggasak dan merubuhkan rumah mereka. Mereka tetap harus pindah.
            Pak Burhan terus dikunyah sumpah serapah warga. Raganya sempat tersulut saat melihat anak buahnya merubuhkan rumah yang dikunjungi Hanif kemarin. Ia menitihkan air mata. Pandangannya terpaut pada sosok Dian dan ibunya. Ia kenal betul keduanya. Wajah mereka kelihatan lebih muram. Tapi, mereka tidak meledak-ledak seperti warga lainnya. Mereka seperti awan mendung yang menyimpan hujan. Tak ada yang tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam dada keduanya.  
            Eksekusi yang alot itu pun akhirnya berakhir. Sekejap puluhan rumah warga itu berhasil dirubuhkan. Rata. Kampung itu menjadi kosong sama sekali setelah beberapa saat dilalui suasana hiruk- pikuk, tegang, haru, tangis dan penuh teriakan marah. Yang tersisa hanya puing-puing bangunan yang tak berarti lagi. Warga tercerai berai menempati tanah ganti rugi yang terpisah-pisah. Hanya tanah, sungguh tak sebanding.
            Langit di ufuk barat tampak kesumba senja. Matahari mulai beringsut ke peraduannya. Tepian awan yang menggelantung di langit menorehkan sinar keemasan. Sementara, barisan burung gereja terbang meliuk-liuk menerobos deru angin. Penggusuran itu telah berlalu tanpa pamit.
             “Bagaimana perasaan Hanif melihat kenyataan itu?” Pak Burhan membatin. Ia dijejal perasaan itu lagi. Pikirannya jadi ngelantur entah ke mana. Kata-kata Hanif kemarin siang tiba-tiba mengiang di telinganya. Bias ketakutan menyergap seketika. Benaknya mengambang tinggi. Usai penggusuran tadi siang, ia memang tak langsung pulang. Ia terhempas di kursi kerjanya lagi. Kakinya berselonjor. Ada perasaan lain yang menggenjot nuraninya. Teramat dalam.
            “Kehidupan memang tak dapat diputar ulang seperti halnya dentangan jarum di tubuhku. Aku akan terus bergulir menemani segala pilihan hidup manusia. Hidup adalah pilihan dan aku ada di antara pilihan itu. Ku tak peduli apakah pilihanmu tepat atau tidak.” Jam dinding seolah berseloroh dalam bayang Pak Burhan. Ia tersentak kaget. “Apa gerangan yang terjadi di luar sana ?” tanya batinnya. Akhirnya, berita mengejutkan itu pun tersiar.
            “Naas!!! Nyawanya tak terselamatkan lagi! Anak Bos kita tewas dikeroyok anak warga kampung yang kampungnya tadi kita gusur!” Ucap Roy, salah seorang personil praja kepada rekannya yang lain dengan mulut sedikit bergetar.    
            Pak Burhan menarik nafasnya yang terasa kian sesak saat anak buahnya menyampaikan berita tersebut. Nalarnya tak mampu menerima semua itu. Ia merasa telah dikeroyok oleh pilihannya sendiri. Pedih. Batinnya tercabik-cabik habis. Ia berusaha membendung air matanya yang siap meledak. Punggungnya terasa melompat hebat. Rasa sakit makin menjadi tatkala rongga dadanya terasa sempit. Nyeri kembali menusuk jantungnya. Tak kuasa menahan perih, tubuh besar itu pun limbung dan jatuh terjerembab. Kepalanya mencium lantai. Cahaya perlahan menjauhi retina matanya. Dunia menjadi gelap gulita. Jam dinding turut jatuh dan tak berdetak lagi. Duka mengendap di batin yang hidup.
***
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar