Merajut Cita dari Sulawesi Ke Korea
Oleh:
Amir Tjolleng
Musim
panas kembali bertandang. Kali ini musim panas kedua saya di Korea Selatan. Ya,
sudah lebih dari setahun saya berada di negeri ginseng ini. Negeri yang
terkenal dengan arus Korean Wave-nya
atau Hallyu ini memiliki empat jenis
musim, yakni: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Musim
panas atau “yoreum” (여름) berlangsung sejak
awal Juni hingga akhir September. Pada akhir Juni hingga pertengahan Juli,
biasanya curah hujan disini cukup tinggi. Kondisi ini dikenal dengan sebutan “jangma” (장마). Selanjutnya, cuaca
akan berubah sangat panas dan lembab pada bulan Agustus. Orang Korea biasanya akan
pergi memanjat gunung, bertamasya ke pantai bersama keluarga, pulang ke kampung
halaman atau pergi ke daerah lembah yang sejuk untuk menikmati liburan musim
panas.
Ulsan, salah satu kota metropolitan
(Gwangyeoksi) di Korea, kini menjadi tempat tinggal
saya. Ulsan
yang merupakan salah satu kota industri di Korea, terletak di sepanjang pantai
tenggara Korea dengan populasi sekitar 1.160.000 jiwa dan luas area 1.060 km2.
Ulsan dibagi ke dalam empat distrik yaitu Buk-gu,
Dong-gu, Jung-gu, dan Nam-gu serta satu kabupaten yakni Ulju-gun. Lokasi saya berada di wilayah Nam-gu. Lebih tepatnya, Mugeo
Dong. Untuk kesini,
bisa ditempuh selama 5 jam perjalanan bus atau 2 jam dengan kereta cepat atau
Korea Train Express (KTX) dari Seoul, kota spesial (Teukbyeolsi) Korea. Disini, saya sedang berjuang menyelesaikan
studi master di Jurusan Teknik Industri (산업경영공학부) University of
Ulsan dengan beasiswa research scholarship.
Sebelum memberanikan diri hijrah ke Negeri Sungai Han ini,
saya dulunya seorang tutor bimbingan belajar matematika bagi pelajar SD hingga
SMA di Manado, Sulawesi Utara. Les privat di rumah juga saya lakoni kala itu. Mengajar seolah telah menjadi fragmen yang lekap dalam hidup saya. Sedari kuliah di Jurusan Matematika Universitas Sam Ratulangi
Manado, saya mulai
terbiasa mengajar. Menjadi asisten
dosen beberapa mata kuliah pernah saya lalui semasa itu. Dari sanalah saya belajar banyak hal
sembari mengajarkan pula kepaada para junior. Dengan mengajar kita akan lebih
mudah menyerap dan memahami apa yang kita pelajari. Intinya, belajar lalu
ajarkanlah. Dengan begitu, ilmu itu akan tertanam lekat dalam pikiran kita dan
akan bermanfaat pula bagi orang lain.
Selepas mengakhiri studi S1 saya, terlintas impian untuk menyambungkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Niat
saya tak muluk-muluk. Saya ingin sekolah
lagi di Institut Teknologi Bandung dengan beralih ke
Jurusan Aktuaria. Kala
itu, impian saya adalah ingin menjadi seorang dosen atau aktuaris. Sebagai
informasi, aktuaris adalah seorang ahli yang mampu memecahkan masalah-masalah
keuangan seperti dalam bidang asuransi dengan menerapkan konsep matematika dan
statistika. Namun kesangsian menyelimuti
saya. Di tengah himpitan ekonomi,
tentu tak enteng bagi saya untuk sekolah lagi dengan biaya sorangan. Getol berburu beasiswa, tak perlu ditawar-tawar lagi
dan menjadi hal yang mesti saya lakukan. Hingga akhirnya perburuan saya berhenti di Korea. Kali ini saya akan
berbagi kisah perjuangan saya hingga bisa meraih beasiswa studi di Korea.
Awalnya,
tak pernah terbersit dalam hati dan pikiran bahwa suatu
hari nanti saya akan melanjutkan studi Master di
Korea. Jujur saja saya tak begitu paham dengan seluk beluk negeri
ginseng ini. Saya
hanya sering menyaksikan maraknya budaya Korea, drama Korea, fashion, kuliner dan
lain sebagainya yang mulai digemari oleh masyarakat Indonesia terutama di kota saya,
Manado. Tak hanya itu, saya juga bukan seorang penggemar K-Pop atau drama
Korea. Namun semua
berubah saat keinginan saya untuk berguru
ke Korea muncul. Memang Allah Maha membolak-balikkan
hati hambaNya.
Beberapa
bulan sebelum berangkat ke Korea, saya rajin menyaksikan drama Korea. Tak lain
tujuannya adalah untuk mempelajari bahasa dan budaya mereka. Penting sekali
mengetahui budaya dan menguasai sedikit bahasa Korea sebelum menimba ilmu
disini. Hal tersebut akan sangat membantu dan memudahkan kita untuk beradaptasi
dan berinteraksi dengan orang Korea.
Rencana
studi di Korea bermula saat saya bersua dengan Pak Agung. Beliau merupakan
seorang dosen Teknik di kampus saya yang saat itu baru saja merampungkan studi
S3-nya di Korea. Beliau banyak bercerita tentang pengalamannya berburu beasiswa
hingga sukses studi di Korea. Tak hanya sampai disitu saja, beliau pun menyampaikan
beberapa informasi beasiswa di Korea. Saya masih ingat betul, waktu itu beliau
menyarankan saya untuk studi Master ke Korea melalui jalur beasiswa dari
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Saya tertarik dan sejak saat itu saya
mulai intens berdiskusi dengan beliau dan segala hal yang berbau Korea menjadi
daya tarik tersendiri bagi saya.
Beberapa
pertimbangan menjadi alasan saya untuk tak melewatkan tawaran Pak Agung melanjutkan
studi di Korea; pertama, Korea merupakan salah satu negara maju dan dikenal pula
sebagai Macan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang melesat tinggi disertai
industrialisasi yang begitu cepat menjadikan negara ini turut diperhitungkan di
mata dunia. Di era sekarang ini, siapa yang tak mengenal produk-produk “made in Korea” seperti Samsung, LG, Hyundai,
KIA, kereta api cepat, industri perkapalan dan baja, yang telah merajai dunia. Dengan
belajar di Korea, saya bisa menggali ilmu dan lebih mengetahui kiat sukses
negara tersebut agar bisa diterapkan pula sewaktu kembali ke tanah air.
Alasan
yang kedua adalah adanya program beasiswa untuk mahasiswa asing dari pemerintah
Korea. Berdasarkan data dari Study in
Korea, sejak tahun 1967 pemerintah Korea telah menyediakan beasiswa kepada
6.556 mahasiswa asing dari 148 negara dan membantu sekitar 2.000 mahasiswa
setiap tahunnya. Beberapa program bantuan dana ditawarkan melalui pihak universitas,
yayasan swasta atau perusahaan. Selain itu, Korea memiliki uang kuliah (tuition fee) dan biaya hidup (living costs) yang lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara berbahasa Inggris (UK & USA) atau Jepang.
Alasan
yang terakhir adalah Korea memiliki budaya yang menarik serta adanya kesempatan
belajar bahasa Korea. Kebudayaan yang unik, baik dari makanan, kesenian, maupun
gaya hidup menjadi hal yang menarik untuk dipelajari langsung selama di Korea. Terkait
dengan budaya gaya hidup, orang Korea terkenal dengan etos kerja kerasnya yang
luar biasa, totalitas yang tinggi, tekun, ulet, pantang menyerah dan disiplin terhadap
waktu. Orang Korea sudah terbiasa bekerja selama 14-18 jam sehari. Tak heran
jika mereka dikenal “gila kerja”. Tak hanya itu, mereka juga dikenal jujur,
teguh pendirian serta amanah. Contohnya, jika menemukan dompet atau HP yang
ketinggalan di bus/kereta, mereka tidak akan mengambilnya.
Dengan
memilih studi di Korea, saya juga berpeluang untuk belajar bahasa mereka
sehingga bisa menjadi nilai plus tersendiri. Bahasa Korea atau “hanguk” (한국어) merupakan bahasa
resmi yang digunakan oleh dua negara yakni Korea Selatan dan Korea Utara. Tulisan
Korea yang diciptakan oleh Raja Agung Sejong dikenal dengan sebutan Hangeul. Butuh usaha dan semangat yang
kuat agar tetap konsisten belajar Hanguel.
Beberapa program beasiswa seperti Korea
Government Scholarship Program (KGSP) menawarkan masa belajar bahasa Korea
selama setahun sebelum memulai kuliah. Ada juga yang menyediakan layanan kursus
bahasa Korea sembari kuliah. Menguasai bahasa Korea akan menjadi nilai tambah
bagi kita saat mengenyam pendidikan di negeri ginseng ini.
Saya
banyak berdiskusi dengan Pak Agung setelah membulatkan tekad untuk belajar ke
Korea. “Studi ke Korea
tidaklah mudah, Mir” ucap Pak Agung saat saya bersambang ke rumahnya.
“Niat yang kuat disertai kerja keras dan pantang menyerah
menjadi syarat mutlak untuk mendapat
beasiswa,” tandasnya. Benar saja, untuk menggapai angan
saya tersebut, saya harus
menyiapkan paspor, terjemahan ijazah dan data kewarganegaraan lainnya, hingga
sertifikat kemampuan berbahasa inggris yang lumayan menguras biaya. Untuk syarat yang terakhir itu, terasa berat
bagi
saya. Betapa tidak, sudah lama
sekali saya tidak berkutat dengan bahasa inggris. Walaupun dulu saya pernah memenangi
lomba debat dan pidato bahasa inggris di SMA, namun itu
sudah beberapa tahun berlalu.
Sebagai
informasi, syarat-syarat untuk studi ke Korea berbeda-beda untuk tiap program
beasiswa dan kampus tujuan. Namun umumnya mereka mensyaratkan beberapa dokumen
berikut; ijazah dan transkrip dalam bahasa Inggris/Korea yang telah dilegalisir,
surat rekomendasi, Statement of Purpose,
sertifikat kemampuan bahasa Inggris (TOEFL, TOEIC, atau IELTS) atau bahasa
Korea (TOPIK), paspor, dan pas foto.
Tahapan seleksi
beasiswa biasanya didahului dengan submission
aplikasi lamaran ke pihak universitas/pemberi beasiswa, lalu screening atau seleksi pihak
kampus/pemberi beasiswa dan terakhir pengumuman kelulusan. Ada juga proses
wawancara atau tes selama proses seleksi di beberapa program beasiswa seperti
KGSP dan LPDP. Di tahap akhir, pihak universitas akan menyerahkan Letter of Acceptance atau LOA. Dokumen
ini nantinya akan dipergunakan tatkala kita mengurus visa sebelum ke Korea.
Terdapat
beberapa program beasiswa yang bisa dilirik dan dijadikan pilihan ketika
berniat studi di Korea. Diantaranya adalah beasiswa KGSP dari pemerintah Korea,
beasiswa LPDP dari pemerintah Indonesia, beasiswa dari yayasan/perusahaan di
Korea serta beasiswa research scholarship.
Tahun 2014 silam, saya sempat mengajukan permohonan beasiswa ke pemerintah Indonesia.
Namun patah pucuk di tengah jalan. Alasannya sudah bisa ditebak. Ya, skor TOEFL.
Kemampuan berbahasa Inggris saya waktu
itu yang belum memenuhi standar menjadi dalih aplikasi saya tak
dipertimbangkan. Walaupun saya sudah mengantongi persetujuan kerjasama riset dengan
Profesor dari salah satu Universitas di Korea.
Namun
tak ada salahnya untuk mencoba. Toh,
kegagalan adalah jalan sukses yang tertunda, pikir saya saat itu untuk menghibur
diri dan menyalakan kembali semangat juang.
Saya
tak mau pergelutan hanya
sampai disitu saja. Agar lolos beasiswa, saya belajar bahasa inggris secara mandiri. Tentamen
kemampuan bahasa inggris beberapa kali saya
ikuti untuk meraih target skor yang disyarakatkan.
Selanjutnya
saya mencoba mencari beasiswa dengan jalur research
scholarship. Untuk jenis program beasiswa ini, kita harus memiliki seorang advisor atau profesor terlebih dahulu.
Untuk itu saya mulai mencari advisor
melalui laman kampus tujuan dengan terus berkonsultasi dengan Pak Agung. Kala
itu beliau menyarankan saya mencoba mencari beasiswa di University of Ulsan dan memilih
jurusan teknik industri. Alasannya adalah kampus tersebut tidak mematok skor
bahasa Inggris yang terlalu tinggi. Lalu, kemampuan matematika saya sewaktu S1
dulu apabila diterapkan di dunia teknik industri akan menjadi sangat bermanfaat
bagi kehidupan nyata.
Saya
terus mencoba hingga walhasil, saya berhasil memperoleh advisor atau pembimbing di Jurusan
Teknik Industri University of Ulsan (UOU). Jalur beasiswa yang saya pilih adalah beasiswa research scholarship. Beasiswa tersebut diberikan kepada para mahasiswa dengan syarat mereka
bersedia menjadi asisten
riset profesor. Sebagai imbalannya mereka dibebaskan dari biaya semester
dan mendapat tunjangan biaya hidup selama studi. Sebuah balasan email yang masuk dari seorang Profesor
membuat saya larut dalam haru dan bahagia.
Dear
Amir Tjolleng,
I have well read your documents
and got very good impression on your acheivements and potential as a
professional.
I’m advicing my graduate
students considering their merits and future career plan. So, let me know your
plan after graduation from university of ulsan.
For your information, if you
joins my research lab, you can receive full tuition scholarship as well as
monthly stipend.
In addition, I can give you incentives If you shows good
performance in research and paper writing.
Thank
you
Kihyo
Ya, saya diterima oleh Prof. Kihyo
Jung. Selain sebagai profesor di UOU,
beliau juga merupakan Certified
Professional Engineer in Ergonomics atau insinyur profesional yang
tersertifikasi dalam bidang ergonomi. Nantinya selain kuliah, saya juga akan bertugas sebagai asisten riset
beliau di Human-centered Design Laboratory. Laboratorium tersebut berfokus di area human factors dan egonomics yang bertujuan untuk mendesain dan menciptakan teknologi dengan
mempertimbangkan aspek-aspek fisik, psikis dan kognitif dari manusia. Saya sangat bersyukur bisa diterima di
lab beliau dan melakukan riset terapan bersama para mahasiswa Korea lainnya. Selanjutnya,
konsultasi via email pun terus
berlanjut dengan beliau. Walaupun sudah diterima Profesor, saya harus mendaftar
juga ke kampus tujuan sebagai salah satu syarat agar bisa
lolos beasiswa.
Singkat cerita, setelah mendaftar dan
menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman
kelulusan dari pihak kampus pun tersiar. Dan ternyata application saya ditolak. Kali ini alasannya karena sertifikat bahasa Inggris saya tidak memenuhi standar
internasional. Sertifikat yang saya
gunakan adalah ITP TOEFL yang diperoleh dari salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Manado. Dan ternyata sertifikat tersebut hanya
berlaku untuk studi dalam negeri saja. Adapun jika hendak melamar studi ke luar
negeri harus menggunakan sertifikat yang berbeda seperti TOEFL IBT, IELTS atau
TOEIC. Sedih bercampur
putus asa bergelayut dalam dada. Ingin rasanya mengakhiri asa
belajar ke luar negeri dan berfokus
untuk menjejaki
beasiswa dalam negeri saja. “Mungkin saya tak laik studi jauh-jauh,” saya membatin. Gundah.
Penolakan
demi penolakan tak menyurutkan antusiasme saya untuk mendapatkan beasiswa ke
luar negeri. Usai berdiskusi dengan Prof. Jung dan Pak Agung, saya memutuskan untuk
mendaftar kembali di semester berikutnya yakni spring 2015. Itu artinya saya mesti berjuang memiliki sertifikat
bahasa yang diakui secara internasional lalu menanti selama 6 bulan dan apply lagi. Sembari menunggu, saya mengasah kembali bahasa Inggris
saya di sela-sela kesibukan mengajar.
Belajar mandiri
menjadi pilihan. Saya belajar dengan
berbekal buku bahasa Inggris yang dibeli di toko buku. Ingin sekali kursus tapi biayanya lumayan merogoh
kocek.
Usai
mempersiapkan diri dengan matang, akhirnya saya memilih untuk mengambil tes
TOEIC di Makassar. Selain mudah, harga tes ini relatif terjangkau dibanding TOEFL
IBT atau IELTS. Saya memilih lokasi tes di Makassar karena di Manado belum ada
jadwal tes dalam waktu dekat sementara saya harus berpacu dengan batas waktu submission lamaran ke kampus. Selain
itu, saya juga bisa pulang kampung ke Makassar bertemu sanak saudara sekaligus
memohon doa agar dimudahkan semua proses seleksinya. Dan alhamdulillah, saya bersyukur kepada Tuhan, skor TOEIC saya melampaui
batas minimal yang disyaratkan pihak kampus.
Langkah
selanjutnya adalah mendaftar kembali ke kampus dan menunggu pengumuman
kelulusan periode Spring 2015. Selama
menunggu di Indonesia, saya mempersiapkan diri dengan belajar dasar-dasar
bahasa Korea, menelusuri budaya Korea melalui buku/internet serta terus mempertajam
kemampuan bahasa Inggris. Selain itu, saya juga membantu Prof. Jung. Ya, beliau
memberikan saya kesempatan untuk menangani risetnya jarak jauh. Ia menugaskan
saya untuk menganalisis data risetnya dan bekerja sama via email. Pernah
sekali, ia mengirimkan uang sebagai ucapan terima kasih telah membantu
risetnya. Menyenangkan memang namun lumayan memeras otak, membutuhkan disiplin dan kerja keras dalam memaruh
waktu. Erak
tak ayal menghinggapi diri. Namun tekad saya tak pernah aus. Saya terus belajar, bekerja dan berdoa. Hingga akhirnya
saya dinyatakan lulus dan diterima di UOU lalu bisa menjejakkan kaki di Korea.
Berbagai
pengalaman menarik saya alami saat studi di Korea. Ketika menulis cerita ini, saya
telah mengakhiri semester ketiga saya dan sedang dalam masa liburan musim
panas. Kuliah bersama teman-teman dari belahan negara lain menjadi momen
tersendiri yang tentu tak terlupakan. Teman-teman saya berasal dari Pakistan,
Bangladesh, Vietnam, Arab Saudi, China, Mesir, Uzbekistan, Kazakhstan, Nepal,
India, Moroko dan pastinya Korea. Bersama mereka, saya bisa saling mengenal,
bertukar budaya negara masing-masing, berbagi dan berdiskusi. Bergaul dengan
mereka seolah membangkitkan semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah air saya.
Tak hanya itu, secara tidak langsung, kemampuan berbahasa Inggris saya pun meningkat
saat berinteraksi dengan mereka.
Umumnya
perkuliahan di Korea menggunakan pengantar bahasa Korea. Hanya sedikit mata
kuliah yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu,
pengetahuan bahasa Korea menjadi amat penting bagi yang ingin menimba ilmu di
Korea. Alhamdulillah, saya sudah
menyelesaikan kursus Korea saat winter
2015 lalu yang dibiayai oleh Profesor. Menurut pengalaman saya, bahasa Korea
lumayan sulit untuk dipelajari. Namun bukan berarti kita tidak bisa menguasai
bahasa yang satu ini. Kemauan yang kuat disertai semangat belajar yang tinggi
menjadi syarat agar bisa jago berbahasa Korea.
Di
kampus saya saat ini ada delapan orang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh
studi master dan doktoral. Dua diantaranya hidup bersama keluarga mereka. Kami
memiliki komunitas yang diberi nama “UOU
Indonesia Family”. Perkumpulan ini sangat bermanfaat karena menjadi wadah
bagi kami untuk berkumpul, memupuk kebersamaan, saling berbagi dan bertukar
informasi apa saja selama hidup di Korea. Pertemuan komunitas digelar sebulan
sekali. Kami hidup rukun dan harmonis saat berbaur bersama masyarakat Korea. Semoga
ke depan akan lebih banyak pelajar dari Indonesia yang datang ke Korea utamanya
ke kampus saya agar bisa lebih ramai dalam kebersamaan.
Kebersamaan
kami begitu terasa saat bulan puasa dan lebaran di Korea. Ketika bulan puasa,
kami mewakili Indonesia untuk memasak hidangan berbuka setiap minggu di Ulsan Islamic Center (UIC). Hidangan
berbuka khas Indonesia seperti opor ayam, rendang, bakwan, tahu isi, kolak dan
lain sebagainya menjadi menu andalan yang kami suguhkan. Jadwal memasaknya
dibagi bersama dengan teman-teman dari negara lain yakni Pakistan, Bangladesh,
Arab Saudi dan Mesir. UIC telah menjadi tempat bagi para pelajar muslim di
Ulsan untuk shalat berjamaah dan kajian islami. Lebaran di Korea pun tak kalah
dengan di Indonesia. Walau jauh dari keluarga, tak mengurangi rasa sukacita dan
bahagia kami saat berlebaran bersama di Korea.
Menikmati
suasana kota Ulsan sembari menyejukkan pikiran sesekali menjadi agenda saya
kala senggang dari aktivitas kuliah atau riset di lab. Berkeliling ke pusat
kota Ulsan, berkunjung ke objek-objek wisata seperti pantai di Ulsan, Busan,
Daegu dan lainnya bersama teman-teman menjadi hal yang menarik selama Korea.
Suasana kota yang bersih, tertata dan tertib adalah pemandangan umum di Korea
yang akan kita temui. Tak lupa saya mengabadikan momen-momen berpetualang itu
dalam potret agar nantinya menjadi kisah yang mampu menginspirasi orang lain.
Selama
di Korea, saya juga mengajar di Universitas Terbuka (UT) Korea. Setiap akhir
pekan di bulan Maret-Mei dan Agustus-Oktober, saya berbagi ilmu manajemen
bersama para mahasiswa UT Korea. Saya diberi amanah untuk mengajar Akuntansi
Manajemen, Statistika Ekonomi dan Matematika Ekonomi di Jurusan Manajemen. Para
mahasiswa yang saya ajari mayoritas adalah para pejuang devisa Indonesia di
Korea. Walau tujuan awalnya mereka kesini untuk bekerja, namun hal tersebut tak
menyurutkan antusiasme dan semangat mereka untuk belajar. Saya salut dengan
kegigihan dan upaya mereka dalam membagi waktu antara bekerja dan belajar.
Pasalnya bekerja di Korea saja sudah begitu menguras waktu.
Tentu
ada suka duka tersendiri selama belajar di Korea. Rindu akan keluarga dan
orang-orang tersayang menjadi hal yang sudah pasti dialami oleh para pelajar
disini. Awal-awal kuliah di Korea merupakan masa-masa terberat yang saya alami.
Dengan modal bahasa Korea yang seadanya, menyulitkan saya untuk berinteraksi
dengan orang Korea. Orang Korea umumnya tidak begitu terbiasa dengan bahasa
Inggris. Tak hanya itu, sebagai seorang muslim, butuh usaha keras untuk
menikmati makanan halal disini. Belum lagi jika musim dingin tiba, suhu akan
begitu dingin dan membuat tak nyaman. Begitu pula saat musim panas, suhu akan
menjadi panas dengan kelembaban yang tinggi. Sungguh jauh berbeda dengan di
Indonesia. Tapi semuanya patut dilalui dengan penuh kesyukuran.
Semasa
di Indonesia, saya pernah menutup mata dalam gelitanya malam dan menghanyutkan jisim
berada di Korea. Alhamdulillah itu semua menjadi kenyataan. Selalu ada tapak
bagi siapa saja yang mau berikhtiar. Man jadda wa jadda,
siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Allah tidak akan mengubah garis hidup seseorang jika bukan dirinya sendiri yang mengubahnya. “Terima kasih, Ya
Allah”. Semoga kisah perjuangan saya ini bisa menginspirasi teman-teman semua
untuk terus memperjuangkan impiannya. Pesan saya, tanamkanlah cita dalam hati
dan pikiran. Lalui semua rintangan dengan semangat pantang menyerah dan jiwa
juang yang tinggi. Buang rasa malas, rasa putus asa dan pikiran negatif.
Fokuslah pada impian lalu biarkan Tuhan menuntunmu dan lihat hasilnya.
Summer 2016,
Korea
Tidak ada komentar:
Posting Komentar