Kamis, 25 Mei 2017

Merajut Cita dari Sulawesi Ke Korea


 Merajut Cita dari Sulawesi Ke Korea

Oleh: Amir Tjolleng


Musim panas kembali bertandang. Kali ini musim panas kedua saya di Korea Selatan. Ya, sudah lebih dari setahun saya berada di negeri ginseng ini. Negeri yang terkenal dengan arus Korean Wave-nya atau Hallyu ini memiliki empat jenis musim, yakni: musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Musim panas atau “yoreum” (여름) berlangsung sejak awal Juni hingga akhir September. Pada akhir Juni hingga pertengahan Juli, biasanya curah hujan disini cukup tinggi. Kondisi ini dikenal dengan sebutan “jangma” (장마). Selanjutnya, cuaca akan berubah sangat panas dan lembab pada bulan Agustus. Orang Korea biasanya akan pergi memanjat gunung, bertamasya ke pantai bersama keluarga, pulang ke kampung halaman atau pergi ke daerah lembah yang sejuk untuk menikmati liburan musim panas.

Ulsan, salah satu kota metropolitan (Gwangyeoksi) di Korea, kini menjadi tempat tinggal saya. Ulsan yang merupakan salah satu kota industri di Korea, terletak di sepanjang pantai tenggara Korea dengan populasi sekitar 1.160.000 jiwa dan luas area 1.060 km2. Ulsan dibagi ke dalam empat distrik yaitu Buk-gu, Dong-gu, Jung-gu, dan Nam-gu serta satu kabupaten yakni Ulju-gun. Lokasi saya berada di wilayah Nam-gu. Lebih tepatnya, Mugeo Dong. Untuk kesini, bisa ditempuh selama 5 jam perjalanan bus atau 2 jam dengan kereta cepat atau Korea Train Express (KTX) dari Seoul, kota spesial (Teukbyeolsi) Korea. Disini, saya sedang berjuang menyelesaikan studi master di Jurusan Teknik Industri (산업경영공학부) University of Ulsan dengan beasiswa research scholarship.

Sebelum memberanikan diri hijrah ke Negeri Sungai Han ini, saya dulunya seorang tutor bimbingan belajar matematika bagi pelajar SD hingga SMA di Manado, Sulawesi Utara. Les privat di rumah juga saya lakoni kala itu. Mengajar seolah telah menjadi fragmen yang lekap dalam hidup saya. Sedari kuliah di Jurusan Matematika Universitas Sam Ratulangi Manado, saya mulai terbiasa mengajar. Menjadi asisten dosen beberapa mata kuliah pernah saya lalui semasa itu. Dari sanalah saya belajar banyak hal sembari mengajarkan pula kepaada para junior. Dengan mengajar kita akan lebih mudah menyerap dan memahami apa yang kita pelajari. Intinya, belajar lalu ajarkanlah. Dengan begitu, ilmu itu akan tertanam lekat dalam pikiran kita dan akan bermanfaat pula bagi orang lain.

Selepas mengakhiri studi S1 saya, terlintas impian untuk menyambungkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Niat saya tak muluk-muluk. Saya ingin sekolah lagi di Institut Teknologi Bandung dengan beralih ke Jurusan Aktuaria. Kala itu, impian saya adalah ingin menjadi seorang dosen atau aktuaris. Sebagai informasi, aktuaris adalah seorang ahli yang mampu memecahkan masalah-masalah keuangan seperti dalam bidang asuransi dengan menerapkan konsep matematika dan statistika. Namun kesangsian  menyelimuti saya. Di tengah himpitan ekonomi, tentu tak enteng bagi saya untuk sekolah lagi dengan biaya sorangan. Getol berburu beasiswa, tak perlu ditawar-tawar lagi dan menjadi hal yang mesti saya lakukan. Hingga akhirnya perburuan saya berhenti di Korea. Kali ini saya akan berbagi kisah perjuangan saya hingga bisa meraih beasiswa studi di Korea.

Awalnya, tak pernah terbersit dalam hati dan pikiran bahwa suatu hari nanti saya akan melanjutkan studi Master di Korea. Jujur saja saya tak begitu paham dengan seluk beluk negeri ginseng ini. Saya hanya sering menyaksikan maraknya budaya Korea, drama Korea, fashion, kuliner dan lain sebagainya yang mulai digemari oleh masyarakat Indonesia terutama di kota saya, Manado. Tak hanya itu, saya juga bukan seorang penggemar K-Pop atau drama Korea. Namun semua berubah saat keinginan saya untuk berguru ke  Korea muncul. Memang Allah Maha membolak-balikkan hati hambaNya. Beberapa bulan sebelum berangkat ke Korea, saya rajin menyaksikan drama Korea. Tak lain tujuannya adalah untuk mempelajari bahasa dan budaya mereka. Penting sekali mengetahui budaya dan menguasai sedikit bahasa Korea sebelum menimba ilmu disini. Hal tersebut akan sangat membantu dan memudahkan kita untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan orang Korea.

Rencana studi di Korea bermula saat saya bersua dengan Pak Agung. Beliau merupakan seorang dosen Teknik di kampus saya yang saat itu baru saja merampungkan studi S3-nya di Korea. Beliau banyak bercerita tentang pengalamannya berburu beasiswa hingga sukses studi di Korea. Tak hanya sampai disitu saja, beliau pun menyampaikan beberapa informasi beasiswa di Korea. Saya masih ingat betul, waktu itu beliau menyarankan saya untuk studi Master ke Korea melalui jalur beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Saya tertarik dan sejak saat itu saya mulai intens berdiskusi dengan beliau dan segala hal yang berbau Korea menjadi daya tarik tersendiri bagi saya.

Beberapa pertimbangan menjadi alasan saya untuk tak melewatkan tawaran Pak Agung melanjutkan studi di Korea; pertama, Korea merupakan salah satu negara maju dan dikenal pula sebagai Macan Asia. Pertumbuhan ekonomi yang melesat tinggi disertai industrialisasi yang begitu cepat menjadikan negara ini turut diperhitungkan di mata dunia. Di era sekarang ini, siapa yang tak mengenal produk-produk “made in Korea” seperti Samsung, LG, Hyundai, KIA, kereta api cepat, industri perkapalan dan baja, yang telah merajai dunia. Dengan belajar di Korea, saya bisa menggali ilmu dan lebih mengetahui kiat sukses negara tersebut agar bisa diterapkan pula sewaktu kembali ke tanah air.

Alasan yang kedua adalah adanya program beasiswa untuk mahasiswa asing dari pemerintah Korea. Berdasarkan data dari Study in Korea, sejak tahun 1967 pemerintah Korea telah menyediakan beasiswa kepada 6.556 mahasiswa asing dari 148 negara dan membantu sekitar 2.000 mahasiswa setiap tahunnya. Beberapa program bantuan dana ditawarkan melalui pihak universitas, yayasan swasta atau perusahaan. Selain itu, Korea memiliki uang kuliah (tuition fee) dan biaya hidup (living costs) yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berbahasa Inggris (UK & USA) atau Jepang.

Alasan yang terakhir adalah Korea memiliki budaya yang menarik serta adanya kesempatan belajar bahasa Korea. Kebudayaan yang unik, baik dari makanan, kesenian, maupun gaya hidup menjadi hal yang menarik untuk dipelajari langsung selama di Korea. Terkait dengan budaya gaya hidup, orang Korea terkenal dengan etos kerja kerasnya yang luar biasa, totalitas yang tinggi, tekun, ulet, pantang menyerah dan disiplin terhadap waktu. Orang Korea sudah terbiasa bekerja selama 14-18 jam sehari. Tak heran jika mereka dikenal “gila kerja”. Tak hanya itu, mereka juga dikenal jujur, teguh pendirian serta amanah. Contohnya, jika menemukan dompet atau HP yang ketinggalan di bus/kereta, mereka tidak akan mengambilnya.

Dengan memilih studi di Korea, saya juga berpeluang untuk belajar bahasa mereka sehingga bisa menjadi nilai plus tersendiri. Bahasa Korea atau “hanguk” (한국어) merupakan bahasa resmi yang digunakan oleh dua negara yakni Korea Selatan dan Korea Utara. Tulisan Korea yang diciptakan oleh Raja Agung Sejong dikenal dengan sebutan Hangeul. Butuh usaha dan semangat yang kuat agar tetap konsisten belajar Hanguel. Beberapa program beasiswa seperti Korea Government Scholarship Program (KGSP) menawarkan masa belajar bahasa Korea selama setahun sebelum memulai kuliah. Ada juga yang menyediakan layanan kursus bahasa Korea sembari kuliah. Menguasai bahasa Korea akan menjadi nilai tambah bagi kita saat mengenyam pendidikan di negeri ginseng ini.

Saya banyak berdiskusi dengan Pak Agung setelah membulatkan tekad untuk belajar ke Korea. “Studi ke Korea tidaklah mudah, Mir” ucap Pak Agung saat saya bersambang ke  rumahnya. “Niat yang kuat disertai kerja keras dan pantang menyerah menjadi syarat mutlak untuk mendapat beasiswa,” tandasnya.  Benar saja, untuk menggapai angan saya tersebut, saya harus menyiapkan paspor, terjemahan ijazah dan data kewarganegaraan lainnya, hingga sertifikat kemampuan berbahasa inggris yang lumayan menguras biaya.  Untuk syarat yang terakhir itu, terasa berat bagi saya. Betapa tidak, sudah lama sekali saya tidak berkutat dengan bahasa inggris. Walaupun dulu saya pernah memenangi lomba debat dan pidato bahasa inggris di SMA, namun itu sudah beberapa tahun berlalu.

Sebagai informasi, syarat-syarat untuk studi ke Korea berbeda-beda untuk tiap program beasiswa dan kampus tujuan. Namun umumnya mereka mensyaratkan beberapa dokumen berikut; ijazah dan transkrip dalam bahasa Inggris/Korea yang telah dilegalisir, surat rekomendasi, Statement of Purpose, sertifikat kemampuan bahasa Inggris (TOEFL, TOEIC, atau IELTS) atau bahasa Korea (TOPIK), paspor, dan pas foto.

Tahapan seleksi beasiswa biasanya didahului dengan submission aplikasi lamaran ke pihak universitas/pemberi beasiswa, lalu screening atau seleksi pihak kampus/pemberi beasiswa dan terakhir pengumuman kelulusan. Ada juga proses wawancara atau tes selama proses seleksi di beberapa program beasiswa seperti KGSP dan LPDP. Di tahap akhir, pihak universitas akan menyerahkan Letter of Acceptance atau LOA. Dokumen ini nantinya akan dipergunakan tatkala kita mengurus visa sebelum ke Korea.

Terdapat beberapa program beasiswa yang bisa dilirik dan dijadikan pilihan ketika berniat studi di Korea. Diantaranya adalah beasiswa KGSP dari pemerintah Korea, beasiswa LPDP dari pemerintah Indonesia, beasiswa dari yayasan/perusahaan di Korea serta beasiswa research scholarship. Tahun 2014 silam, saya sempat mengajukan permohonan beasiswa ke pemerintah Indonesia. Namun patah pucuk di tengah jalan. Alasannya sudah bisa ditebak. Ya, skor TOEFL. Kemampuan berbahasa Inggris saya  waktu itu yang belum memenuhi standar menjadi dalih aplikasi saya tak dipertimbangkan. Walaupun saya sudah mengantongi persetujuan kerjasama riset dengan Profesor dari salah satu Universitas di Korea. Namun tak ada salahnya untuk mencoba. Toh, kegagalan adalah jalan sukses yang tertunda, pikir saya saat itu untuk menghibur diri dan menyalakan kembali semangat juang.

Saya tak mau pergelutan hanya sampai disitu saja. Agar lolos beasiswa, saya belajar bahasa inggris secara mandiri. Tentamen kemampuan bahasa inggris beberapa kali saya ikuti untuk meraih target skor yang disyarakatkan. Selanjutnya saya mencoba mencari beasiswa dengan jalur research scholarship. Untuk jenis program beasiswa ini, kita harus memiliki seorang advisor atau profesor terlebih dahulu. Untuk itu saya mulai mencari advisor melalui laman kampus tujuan dengan terus berkonsultasi dengan Pak Agung. Kala itu beliau menyarankan saya mencoba mencari beasiswa di University of Ulsan dan memilih jurusan teknik industri. Alasannya adalah kampus tersebut tidak mematok skor bahasa Inggris yang terlalu tinggi. Lalu, kemampuan matematika saya sewaktu S1 dulu apabila diterapkan di dunia teknik industri akan menjadi sangat bermanfaat bagi kehidupan nyata.

Saya terus mencoba hingga walhasil, saya berhasil memperoleh advisor atau pembimbing di Jurusan Teknik Industri University of Ulsan (UOU). Jalur beasiswa yang saya pilih adalah beasiswa research scholarship. Beasiswa tersebut diberikan kepada para mahasiswa dengan syarat mereka bersedia menjadi asisten riset profesor. Sebagai imbalannya mereka dibebaskan dari biaya semester dan mendapat tunjangan biaya hidup selama studi. Sebuah balasan email yang masuk dari seorang Profesor membuat saya larut dalam haru dan bahagia.

Dear Amir Tjolleng, 

      I have well read your documents and got very good impression on your acheivements and potential as a professional.

     I’m advicing my graduate students considering their merits and future career plan. So, let me know your plan after graduation from university of ulsan.

    For your information, if you joins my research lab, you can receive full tuition scholarship as well as monthly stipend. In addition, I can give you incentives If you shows good performance in research and paper writing.

Thank you

Kihyo

Ya, saya diterima oleh Prof. Kihyo Jung. Selain sebagai profesor di UOU, beliau juga merupakan Certified Professional Engineer in Ergonomics atau insinyur profesional yang tersertifikasi dalam bidang ergonomi. Nantinya selain kuliah, saya juga akan bertugas sebagai asisten riset beliau di Human-centered Design Laboratory. Laboratorium tersebut berfokus di area human factors dan egonomics yang bertujuan untuk mendesain dan menciptakan teknologi dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, psikis dan kognitif dari manusia. Saya sangat bersyukur bisa diterima di lab beliau dan melakukan riset terapan bersama para mahasiswa Korea lainnya. Selanjutnya, konsultasi via email pun terus berlanjut dengan beliau. Walaupun sudah diterima Profesor, saya harus mendaftar juga ke kampus tujuan sebagai salah satu syarat agar bisa lolos beasiswa.

Singkat cerita, setelah mendaftar dan menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman kelulusan dari pihak kampus pun tersiar. Dan ternyata application saya ditolak. Kali ini alasannya karena sertifikat bahasa Inggris saya tidak memenuhi standar internasional. Sertifikat yang saya gunakan adalah ITP TOEFL yang diperoleh dari salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di Manado. Dan ternyata sertifikat tersebut hanya berlaku untuk studi dalam negeri saja. Adapun jika hendak melamar studi ke luar negeri harus menggunakan sertifikat yang berbeda seperti TOEFL IBT, IELTS atau TOEIC. Sedih bercampur putus asa bergelayut dalam dada. Ingin rasanya mengakhiri asa belajar ke luar negeri dan berfokus untuk menjejaki beasiswa dalam negeri saja. Mungkin saya tak laik studi jauh-jauh, saya membatin. Gundah.

Penolakan demi penolakan tak menyurutkan antusiasme saya untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Usai berdiskusi dengan Prof. Jung dan Pak Agung, saya memutuskan untuk mendaftar kembali di semester berikutnya yakni spring 2015. Itu artinya saya mesti berjuang memiliki sertifikat bahasa yang diakui secara internasional lalu menanti selama 6 bulan dan apply lagi. Sembari menunggu, saya mengasah kembali bahasa Inggris saya di sela-sela kesibukan mengajar. Belajar mandiri menjadi pilihan. Saya belajar dengan berbekal buku bahasa Inggris yang dibeli di toko buku. Ingin sekali kursus tapi biayanya lumayan merogoh kocek.  

Usai mempersiapkan diri dengan matang, akhirnya saya memilih untuk mengambil tes TOEIC di Makassar. Selain mudah, harga tes ini relatif terjangkau dibanding TOEFL IBT atau IELTS. Saya memilih lokasi tes di Makassar karena di Manado belum ada jadwal tes dalam waktu dekat sementara saya harus berpacu dengan batas waktu submission lamaran ke kampus. Selain itu, saya juga bisa pulang kampung ke Makassar bertemu sanak saudara sekaligus memohon doa agar dimudahkan semua proses seleksinya. Dan alhamdulillah, saya bersyukur kepada Tuhan, skor TOEIC saya melampaui batas minimal yang disyaratkan pihak kampus.

Langkah selanjutnya adalah mendaftar kembali ke kampus dan menunggu pengumuman kelulusan periode Spring 2015. Selama menunggu di Indonesia, saya mempersiapkan diri dengan belajar dasar-dasar bahasa Korea, menelusuri budaya Korea melalui buku/internet serta terus mempertajam kemampuan bahasa Inggris. Selain itu, saya juga membantu Prof. Jung. Ya, beliau memberikan saya kesempatan untuk menangani risetnya jarak jauh. Ia menugaskan saya untuk menganalisis data risetnya dan bekerja sama via email. Pernah sekali, ia mengirimkan uang sebagai ucapan terima kasih telah membantu risetnya. Menyenangkan memang namun lumayan memeras otak, membutuhkan disiplin dan kerja keras dalam memaruh waktu. Erak tak ayal menghinggapi diri. Namun tekad saya tak pernah aus. Saya terus belajar, bekerja dan berdoa. Hingga akhirnya saya dinyatakan lulus dan diterima di UOU lalu bisa  menjejakkan kaki di Korea.

Berbagai pengalaman menarik saya alami saat studi di Korea. Ketika menulis cerita ini, saya telah mengakhiri semester ketiga saya dan sedang dalam masa liburan musim panas. Kuliah bersama teman-teman dari belahan negara lain menjadi momen tersendiri yang tentu tak terlupakan. Teman-teman saya berasal dari Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Arab Saudi, China, Mesir, Uzbekistan, Kazakhstan, Nepal, India, Moroko dan pastinya Korea. Bersama mereka, saya bisa saling mengenal, bertukar budaya negara masing-masing, berbagi dan berdiskusi. Bergaul dengan mereka seolah membangkitkan semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah air saya. Tak hanya itu, secara tidak langsung, kemampuan berbahasa Inggris saya pun meningkat saat berinteraksi dengan mereka.

Umumnya perkuliahan di Korea menggunakan pengantar bahasa Korea. Hanya sedikit mata kuliah yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu, pengetahuan bahasa Korea menjadi amat penting bagi yang ingin menimba ilmu di Korea. Alhamdulillah, saya sudah menyelesaikan kursus Korea saat winter 2015 lalu yang dibiayai oleh Profesor. Menurut pengalaman saya, bahasa Korea lumayan sulit untuk dipelajari. Namun bukan berarti kita tidak bisa menguasai bahasa yang satu ini. Kemauan yang kuat disertai semangat belajar yang tinggi menjadi syarat agar bisa jago berbahasa Korea.

Di kampus saya saat ini ada delapan orang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi master dan doktoral. Dua diantaranya hidup bersama keluarga mereka. Kami memiliki komunitas yang diberi nama “UOU Indonesia Family”. Perkumpulan ini sangat bermanfaat karena menjadi wadah bagi kami untuk berkumpul, memupuk kebersamaan, saling berbagi dan bertukar informasi apa saja selama hidup di Korea. Pertemuan komunitas digelar sebulan sekali. Kami hidup rukun dan harmonis saat berbaur bersama masyarakat Korea. Semoga ke depan akan lebih banyak pelajar dari Indonesia yang datang ke Korea utamanya ke kampus saya agar bisa lebih ramai dalam kebersamaan.

Kebersamaan kami begitu terasa saat bulan puasa dan lebaran di Korea. Ketika bulan puasa, kami mewakili Indonesia untuk memasak hidangan berbuka setiap minggu di Ulsan Islamic Center (UIC). Hidangan berbuka khas Indonesia seperti opor ayam, rendang, bakwan, tahu isi, kolak dan lain sebagainya menjadi menu andalan yang kami suguhkan. Jadwal memasaknya dibagi bersama dengan teman-teman dari negara lain yakni Pakistan, Bangladesh, Arab Saudi dan Mesir. UIC telah menjadi tempat bagi para pelajar muslim di Ulsan untuk shalat berjamaah dan kajian islami. Lebaran di Korea pun tak kalah dengan di Indonesia. Walau jauh dari keluarga, tak mengurangi rasa sukacita dan bahagia kami saat berlebaran bersama di Korea.

Menikmati suasana kota Ulsan sembari menyejukkan pikiran sesekali menjadi agenda saya kala senggang dari aktivitas kuliah atau riset di lab. Berkeliling ke pusat kota Ulsan, berkunjung ke objek-objek wisata seperti pantai di Ulsan, Busan, Daegu dan lainnya bersama teman-teman menjadi hal yang menarik selama Korea. Suasana kota yang bersih, tertata dan tertib adalah pemandangan umum di Korea yang akan kita temui. Tak lupa saya mengabadikan momen-momen berpetualang itu dalam potret agar nantinya menjadi kisah yang mampu menginspirasi orang lain.

Selama di Korea, saya juga mengajar di Universitas Terbuka (UT) Korea. Setiap akhir pekan di bulan Maret-Mei dan Agustus-Oktober, saya berbagi ilmu manajemen bersama para mahasiswa UT Korea. Saya diberi amanah untuk mengajar Akuntansi Manajemen, Statistika Ekonomi dan Matematika Ekonomi di Jurusan Manajemen. Para mahasiswa yang saya ajari mayoritas adalah para pejuang devisa Indonesia di Korea. Walau tujuan awalnya mereka kesini untuk bekerja, namun hal tersebut tak menyurutkan antusiasme dan semangat mereka untuk belajar. Saya salut dengan kegigihan dan upaya mereka dalam membagi waktu antara bekerja dan belajar. Pasalnya bekerja di Korea saja sudah begitu menguras waktu.  

Tentu ada suka duka tersendiri selama belajar di Korea. Rindu akan keluarga dan orang-orang tersayang menjadi hal yang sudah pasti dialami oleh para pelajar disini. Awal-awal kuliah di Korea merupakan masa-masa terberat yang saya alami. Dengan modal bahasa Korea yang seadanya, menyulitkan saya untuk berinteraksi dengan orang Korea. Orang Korea umumnya tidak begitu terbiasa dengan bahasa Inggris. Tak hanya itu, sebagai seorang muslim, butuh usaha keras untuk menikmati makanan halal disini. Belum lagi jika musim dingin tiba, suhu akan begitu dingin dan membuat tak nyaman. Begitu pula saat musim panas, suhu akan menjadi panas dengan kelembaban yang tinggi. Sungguh jauh berbeda dengan di Indonesia. Tapi semuanya patut dilalui dengan penuh kesyukuran.

Semasa di Indonesia, saya pernah menutup mata dalam gelitanya malam dan menghanyutkan jisim berada di Korea. Alhamdulillah itu semua menjadi kenyataan. Selalu ada tapak bagi siapa saja yang mau berikhtiar. Man jadda wa jadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Allah tidak akan mengubah garis hidup seseorang jika bukan dirinya sendiri yang mengubahnya. “Terima kasih, Ya Allah”. Semoga kisah perjuangan saya ini bisa menginspirasi teman-teman semua untuk terus memperjuangkan impiannya. Pesan saya, tanamkanlah cita dalam hati dan pikiran. Lalui semua rintangan dengan semangat pantang menyerah dan jiwa juang yang tinggi. Buang rasa malas, rasa putus asa dan pikiran negatif. Fokuslah pada impian lalu biarkan Tuhan menuntunmu dan lihat hasilnya.

Summer 2016, Korea










Tidak ada komentar:

Posting Komentar