Tolak Ukur dan Strategi Pemanfaatan Investasi Asing di
Indonesia
Oleh: Amir Tjolleng
Tak dapat dipungkiri untuk menjadi
negara maju, Indonesia mesti berbenah. Pemerataan pembangunan nasional, perbaikan
ekonomi hingga peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi fokus utama pemerintah.
Pembangunan nasional perlu dipercepat untuk mengejar ketertinggalan dari
negara-negara maju baik di level regional maupun global. Pembangunan nasional tersebut
tentu menguras biaya yang tak sedikit. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) mengkalkulasi kos pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp.
5.519, 4 triliun. Sebanyak 40,1% (Rp. 2.215,6 triliun) dikeruk dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sisanya, pemerintah memburu secara masif pendanaan
dari dalam dan luar negeri melalui manuver investasi.
Penanaman modal asing (PMA) atau yang
dikenal Foreign Investment Direct
(FDI) menjadi salah satu sumber komposisi pembiayaan yang substansial bagi Indonesia.
Sebagian pengamat memandang PMA menjadi opsi yang potensial. Modal asing
tersebut dapat melahirkan beragam manfaat bagi pertumbuhan ekonomi nasional
jika diasuh dengan bijak. Riset-riset terdahulu juga menyimpulkan bahwa investasi
asing berkorelasi positif dengan ritme pembangunan suatu negara.
Aliran modal asing dunia pada sejumlah
negara berkembang di Asia mengalami eskalasi sejak 2013. Berdasarkan laporan
terbaru United Nations Conference on
Trade and Development (UNCTAD), dana investasi yang masuk ke wilayah Asia menembus
US$ 541 miliar pada tahun 2015. Beragam faktor mendasari para negara donor mentransfusikan
dananya di kawasan Asia, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia serta
untuk perluasan target pasar.
Di zona Asia Tenggara, geliat
pertumbuhan investasi yang tercatat mulai tahun 2011 hingga 2014 tak lepas dari
kontribusi dan sokongan negara-negara ASEAN misalnya Singapura, Indonesia,
Thailand, Malaysia dan Vietnam. Kucuran dana PMA di ASEAN yang terbesar dikantongi
oleh Singapura lalu diikuti oleh Indonesia. Memulihnya atmosfer ekonomi, paket
regulasi investasi yang profitable, dan
rendahnya beban pabrikasi menjadi sisi yang menggiurkan hingga mendongkrak bersarangnya
investasi di region ini.
Berdasarkan rilis Bank Dunia, PMA di
Indonesia menampakkan tren peningkatan fluktuatif sejak tahun 2000. Di periode
sebelumnya, muncul turbulensi finansial 1997 dan ketidakstabilan politik yang
berdampak pada mencuatnya kondisi perekonomian yang memprihatinkan. Gejolak yang
timbul menyurutkan investor confidence
sehingga menyebabkan hengkangnya dana investasi. Pasca masa krisis, pertumbuhan
ekonomi mulai beranjak bangkit. Ini diwarnai dengan membaiknya wajah dunia
usaha dan kinerja pemerintah, meningkatnya arus PMA, pendapatan domestik bruto
(PDB) hingga pendapatan per kapita. Progres perbaikan ekonomi pun terus
berjalan hingga saat ini.
Kini Indonesia menghadapi era
perekonomian bebas dan terbuka yang menghadirkan kompetisi yang sengit antar negara.
Negara-negara sekawasan berlomba menyedot dana investasi. Oleh karena itu, pemerintah
perlu bersinergi untuk proaktif merangkul mitra asing agar tertarik menggelontorkan
modalnya di dalam negeri. Di Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
diberi kewenangan untuk mengawal masuknya investasi ke dalam negeri dari para
investor global. Lembaga ini terus membuktikan eksistensinya selaku mediator dalam
menjembatani investor dan pemerintah terkait koordinasi kebijakan dan pelayanan
penanaman modal.
Selain sasaran esensial mempercepat
pembangunan nasional, derasnya resonansi investasi yang merambat ke Indonesia
secara tidak langsung turut mengundang beberapa faedah, diantaranya: membuka
lapangan kerja baru, mentransfer teknologi atau keterampilan manajemen, meningkatkan
penerimaan fiskal negara via sektor pajak, menambah devisa melalui ekspor
produksi, menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan menstimulasi kemampuan
bersaing produsen dalam negeri.
Di tahun 2016, proyek investasi Indonesia
yang didominasi oleh Singapura dan Jepang sanggup memperluas lapangan kerja. Negeri
Singa menduduki posisi pertama dengan nilai total investasi terbesar yakni 9,2
miliar US$ (5.874 proyek) diikuti Negeri Sakura sebesar 5,4 miliar US$ (3.302
proyek). Adanya proyek-proyek investasi memacu peningkatan daya serap tenaga
kerja sehingga berimbas pada berkurangnya angka pengangguran. Alhasil, BKPM
melansir penyerapan tenaga kerja pada Triwulan IV 2016 mencapai 434.466 orang
yang terdiri dari proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar 124.843
pekerja dan proyek PMA sebanyak 309.623 pekerja.
Investasi asing yang sukses dihimpun
pemerintah jelas menopang akselerasi pembangunan nasional di berbagai aspek. PMA
menyasar, merambah dan mengisi berbagai bidang usaha dan industri yang belum
mampu direngkuh seutuhnya oleh swasta nasional. Di tahun 2016, mayoritas
realisasi PMA masih terkonsentrasi di sektor perindustrian. Tercatat 16.688
juta US$ dana dialokasikan untuk komponen tersebut. Perindustrian diharapkan
menjadi leading sector sekaligus
motor penggerak yang mampu merangsang dan menggenjot pertumbuhan sektor ekonomi
lainnya.
Pemerataan pembangunan juga tengah
menjadi atensi pemerintah. BKPM membukukan
realisasi di pulau Jawa sebesar Rp. 328,7 triliun (53,6%) sedangkan realisasi
investasi di luar pulau Jawa tercatat Rp. 284,1 triliun (46.4%) di tahun 2016.
Pemerintah berikhtiar menyeimbangkan porsi investasi untuk mengurangi
disparitas basis pembangunan wilayah. Jika hal ini diimplementasikan secara
berkelanjutan maka pembangunan ekonomi nasional bisa terjamah hingga pelosok
daerah.
Guna membangkitkan animo investor serta menjaring
aneka profit investasi, pemerintah perlu menaikkan daya saing global melalui
perbaikan dalam negeri. Betapa tidak, salah satu barometer yang digunakan investor
untuk membenamkan modalnya di suatu negara adalah dengan mengacu pada Global Competitive Index (GCI) negara
tersebut. World Economic Forum (WEF)
merilis hasil terkini GCI Indonesia yang berada di ranking 41 dari 138 negara.
Artinya, magnet daya tarik Indonesia butuh dikencangkan. Jika dilirik, kita
masih jauh dari negara sekawasan Asia Timur dan Pasifik seperti Singapura,
Jepang, Hongkong, Malaysia dan negara lainnya.
Investasi PMA yang masuk ke Indonesia disertai
dengan adanya peluang transfer pengetahuan dan teknologi yang berperan dalam mengungkit
daya saing bangsa. Untuk menghadapi hal ini, peningkatan kompetensi sumber daya
manusia menjadi pokok relevan yang mesti diperhatikan. Pemerintah diminta menyiapkan
tenaga kerja yang bermutu dengan kapabilitas yang unggul agar elastisitas penyerapan
tenaga kerja yang tinggi bisa terwujud. Salah satu upaya yang dapat ditempuh
adalah menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan agar mampu menghasilkan lulusan
‘siap pakai’ bukan ‘siap latih’ yang ahli, terampil, dan inovatif bagi industri
padat karya.
Satu catatan yang patut diingat bahwa investasi
asing yang tidak dikelola secara optimal bisa menjadi bumerang bagi bangsa. Imbas
negatif dapat saja hadir, misalnya: macetnya zona agraria lantaran investasi
banyak dicerup industri, eksplorasi sumber daya alam yang eksesif, lesu dan lumpuhnya
UMKM dalam negeri, kerusakan lingkungan akibat limbah, minimnya lahan produktif
oleh ekspansi pabrik hingga ketidakadilan pembagian margin yang lebih
menguntungkan investor.
Terlepas dari beragam konsekuensi buruk
investasi asing, PMA nyatanya telah berkontribusi nyata dalam mengembangkan layar
ekonomi nasional. Untuk itu, di masa depan pemerintah perlu menelurkan berbagai
kebijakan strategis yang mampu meminimalisir efek negatif dan memaksimalkan
sisi positif PMA. Pengoptimalan manfaat PMA dapat ditempuh dengan membidik
berbagai faktor ekonomi dan non-ekonomi penghambat masuknya investasi, seperti:
segenap instrumen yang menyangkut stabilitas ekonomi, akses pasar, sarana
prasarana, dan sumber daya baik manusia dan alam serta kerangka kebijakan (policy framework) seperti aneka regulasi
terkait iklim invetasi. WEF mengumumkan sejumlah persoalan seperti korupsi, inefesiensi
birokrasi dan kurangnya infrastruktur yang masih menjadi ganjalan utama mekanisme
investasi di Indonesia.
Guna mengoptimalkan manfaat investasi
asing, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam menggarap langkah-langkah korektif
mutlak diperlukan. Pertama, mengedepankan kontinuitas perbaikan fundamental ekonomi
guna membangun daya saing, kredibilitas dan impresi positif di mata komunitas usaha
global. Korupsi sebagai musuh utama pemerintah wajib diberantas dengan tegas
tanpa tendensi segelintir golongan. Tak hanya itu, konektivitas infrastruktur yang
memadai juga turut memainkan peran penting dalam mendukung proses investasi di
dalam negeri.
Kedua, menjamin kepastian hukum, restrukturisasi
lembaga, deregulasi dan debirokratisasi kebijakan penanaman modal menjadi hal
yang patut diprioritaskan. Bank Dunia dalam Ease
of Doing Business (EODB) indeks menilai kemudahan berbisnis Indonesia
berada di peringkat 91 dari 190 negara di Kawasan Asia Pasifik, naik 15 poin
yang sebelumnya rangking 106. Dedikasi pemerintah dalam pencapaian sejauh ini tentu
patut diapresiasi. Namun, Indonesia masih
tertinggal di bawah negara-negara lima besar EODB seperti New Zealand,
Singapura, Hong Kong, China, dan Korea. Untuk itu, pemerintah perlu terus
meluncurkan berbagai terobosan kebijakan yang komprehensif dan integratif
antara pemerintah pusat dan daerah guna memudahkan para investor. Hal ini juga
bertujuan menghindari terjadinya distorsi regulasi dan degradasi hukum.
Ketiga, memastikan keamanan, stabilitas
sosial dan politik agar tercipta hawa investasi yang kondusif dan atraktif.
Maraknya aksi unjuk rasa di sejumlah daerah dapat menjadi faktor yang mengendurkan
gairah investor untuk berinvestasi. Pemerintah harus sanggup meredam friksi di
masyarakat dengan merangkul semua elemen untuk mencegah polemik yang
berkepanjangan.
Keempat, pemerataan segmen investasi
yang tak hanya condong ke sektor industri, pendampingan dan proteksi UMKM dalam
negeri agar mampu bersaing, hingga reformasi regulasi normatif terkait pengelolaan
lahan dan limbah untuk menekan semua dampak negatif investasi. Yang terakhir, penguatan
soliditas jajaran pemerintah pusat dan daerah, lembaga kementerian terkait
hingga stakeholders dalam dan luar
negeri. Kolaborasi, harmonisasi, dan koordinasi wajib dipupuk. Dengan demikian,
hadirnya investasi diharapkan dapat terus mengerek stimulus positif lalu memacu
pergerakan roda-roda pembangunan bagi kemajuan perekonomian bangsa Indonesia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar