Kamis, 25 Mei 2017

Tolak Ukur dan Strategi Pemanfaatan Investasi Asing di Indonesia

Tolak Ukur dan Strategi Pemanfaatan Investasi Asing di Indonesia
Oleh: Amir Tjolleng

Tak dapat dipungkiri untuk menjadi negara maju, Indonesia mesti berbenah. Pemerataan pembangunan nasional, perbaikan ekonomi hingga peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi fokus utama pemerintah. Pembangunan nasional perlu dipercepat untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju baik di level regional maupun global. Pembangunan nasional tersebut tentu menguras biaya yang tak sedikit. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengkalkulasi kos pembangunan infrastruktur hingga 2019 mencapai Rp. 5.519, 4 triliun. Sebanyak 40,1% (Rp. 2.215,6 triliun) dikeruk dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sisanya, pemerintah memburu secara masif pendanaan dari dalam dan luar negeri melalui manuver investasi.
Penanaman modal asing (PMA) atau yang dikenal Foreign Investment Direct (FDI) menjadi salah satu sumber komposisi pembiayaan yang substansial bagi Indonesia. Sebagian pengamat memandang PMA menjadi opsi yang potensial. Modal asing tersebut dapat melahirkan beragam manfaat bagi pertumbuhan ekonomi nasional jika diasuh dengan bijak. Riset-riset terdahulu juga menyimpulkan bahwa investasi asing berkorelasi positif dengan ritme pembangunan suatu negara.
Aliran modal asing dunia pada sejumlah negara berkembang di Asia mengalami eskalasi sejak 2013. Berdasarkan laporan terbaru United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dana investasi yang masuk ke wilayah Asia menembus US$ 541 miliar pada tahun 2015. Beragam faktor mendasari para negara donor mentransfusikan dananya di kawasan Asia, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia serta untuk perluasan target pasar.
            Di zona Asia Tenggara, geliat pertumbuhan investasi yang tercatat mulai tahun 2011 hingga 2014 tak lepas dari kontribusi dan sokongan negara-negara ASEAN misalnya Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Kucuran dana PMA di ASEAN yang terbesar dikantongi oleh Singapura lalu diikuti oleh Indonesia. Memulihnya atmosfer ekonomi, paket regulasi investasi yang profitable, dan rendahnya beban pabrikasi menjadi sisi yang menggiurkan hingga mendongkrak bersarangnya investasi di region ini.

Berdasarkan rilis Bank Dunia, PMA di Indonesia menampakkan tren peningkatan fluktuatif sejak tahun 2000. Di periode sebelumnya, muncul turbulensi finansial 1997 dan ketidakstabilan politik yang berdampak pada mencuatnya kondisi perekonomian yang memprihatinkan. Gejolak yang timbul menyurutkan investor confidence sehingga menyebabkan hengkangnya dana investasi. Pasca masa krisis, pertumbuhan ekonomi mulai beranjak bangkit. Ini diwarnai dengan membaiknya wajah dunia usaha dan kinerja pemerintah, meningkatnya arus PMA, pendapatan domestik bruto (PDB) hingga pendapatan per kapita. Progres perbaikan ekonomi pun terus berjalan hingga saat ini.
Kini Indonesia menghadapi era perekonomian bebas dan terbuka yang menghadirkan kompetisi yang sengit antar negara. Negara-negara sekawasan berlomba menyedot dana investasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu bersinergi untuk proaktif merangkul mitra asing agar tertarik menggelontorkan modalnya di dalam negeri. Di Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diberi kewenangan untuk mengawal masuknya investasi ke dalam negeri dari para investor global. Lembaga ini terus membuktikan eksistensinya selaku mediator dalam menjembatani investor dan pemerintah terkait koordinasi kebijakan dan pelayanan penanaman modal.
Selain sasaran esensial mempercepat pembangunan nasional, derasnya resonansi investasi yang merambat ke Indonesia secara tidak langsung turut mengundang beberapa faedah, diantaranya: membuka lapangan kerja baru, mentransfer teknologi atau keterampilan manajemen, meningkatkan penerimaan fiskal negara via sektor pajak, menambah devisa melalui ekspor produksi, menunjang pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan menstimulasi kemampuan bersaing produsen dalam negeri.
Di tahun 2016, proyek investasi Indonesia yang didominasi oleh Singapura dan Jepang sanggup memperluas lapangan kerja. Negeri Singa menduduki posisi pertama dengan nilai total investasi terbesar yakni 9,2 miliar US$ (5.874 proyek) diikuti Negeri Sakura sebesar 5,4 miliar US$ (3.302 proyek). Adanya proyek-proyek investasi memacu peningkatan daya serap tenaga kerja sehingga berimbas pada berkurangnya angka pengangguran. Alhasil, BKPM melansir penyerapan tenaga kerja pada Triwulan IV 2016 mencapai 434.466 orang yang terdiri dari proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar 124.843 pekerja dan proyek PMA sebanyak 309.623 pekerja.
Investasi asing yang sukses dihimpun pemerintah jelas menopang akselerasi pembangunan nasional di berbagai aspek. PMA menyasar, merambah dan mengisi berbagai bidang usaha dan industri yang belum mampu direngkuh seutuhnya oleh swasta nasional. Di tahun 2016, mayoritas realisasi PMA masih terkonsentrasi di sektor perindustrian. Tercatat 16.688 juta US$ dana dialokasikan untuk komponen tersebut. Perindustrian diharapkan menjadi leading sector sekaligus motor penggerak yang mampu merangsang dan menggenjot pertumbuhan sektor ekonomi lainnya.
Pemerataan pembangunan juga tengah menjadi atensi pemerintah. BKPM membukukan realisasi di pulau Jawa sebesar Rp. 328,7 triliun (53,6%) sedangkan realisasi investasi di luar pulau Jawa tercatat Rp. 284,1 triliun (46.4%) di tahun 2016. Pemerintah berikhtiar menyeimbangkan porsi investasi untuk mengurangi disparitas basis pembangunan wilayah. Jika hal ini diimplementasikan secara berkelanjutan maka pembangunan ekonomi nasional bisa terjamah hingga pelosok daerah.
Guna membangkitkan animo investor serta menjaring aneka profit investasi, pemerintah perlu menaikkan daya saing global melalui perbaikan dalam negeri. Betapa tidak, salah satu barometer yang digunakan investor untuk membenamkan modalnya di suatu negara adalah dengan mengacu pada Global Competitive Index (GCI) negara tersebut. World Economic Forum (WEF) merilis hasil terkini GCI Indonesia yang berada di ranking 41 dari 138 negara. Artinya, magnet daya tarik Indonesia butuh dikencangkan. Jika dilirik, kita masih jauh dari negara sekawasan Asia Timur dan Pasifik seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Malaysia dan negara lainnya.
Investasi PMA yang masuk ke Indonesia disertai dengan adanya peluang transfer pengetahuan dan teknologi yang berperan dalam mengungkit daya saing bangsa. Untuk menghadapi hal ini, peningkatan kompetensi sumber daya manusia menjadi pokok relevan yang mesti diperhatikan. Pemerintah diminta menyiapkan tenaga kerja yang bermutu dengan kapabilitas yang unggul agar elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi bisa terwujud. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan agar mampu menghasilkan lulusan ‘siap pakai’ bukan ‘siap latih’ yang ahli, terampil, dan inovatif bagi industri padat karya.
Satu catatan yang patut diingat bahwa investasi asing yang tidak dikelola secara optimal bisa menjadi bumerang bagi bangsa. Imbas negatif dapat saja hadir, misalnya: macetnya zona agraria lantaran investasi banyak dicerup industri, eksplorasi sumber daya alam yang eksesif, lesu dan lumpuhnya UMKM dalam negeri, kerusakan lingkungan akibat limbah, minimnya lahan produktif oleh ekspansi pabrik hingga ketidakadilan pembagian margin yang lebih menguntungkan investor.
Terlepas dari beragam konsekuensi buruk investasi asing, PMA nyatanya telah berkontribusi nyata dalam mengembangkan layar ekonomi nasional. Untuk itu, di masa depan pemerintah perlu menelurkan berbagai kebijakan strategis yang mampu meminimalisir efek negatif dan memaksimalkan sisi positif PMA. Pengoptimalan manfaat PMA dapat ditempuh dengan membidik berbagai faktor ekonomi dan non-ekonomi penghambat masuknya investasi, seperti: segenap instrumen yang menyangkut stabilitas ekonomi, akses pasar, sarana prasarana, dan sumber daya baik manusia dan alam serta kerangka kebijakan (policy framework) seperti aneka regulasi terkait iklim invetasi. WEF mengumumkan sejumlah persoalan seperti korupsi, inefesiensi birokrasi dan kurangnya infrastruktur yang masih menjadi ganjalan utama mekanisme investasi di Indonesia.
Guna mengoptimalkan manfaat investasi asing, komitmen dan konsistensi pemerintah dalam menggarap langkah-langkah korektif mutlak diperlukan. Pertama, mengedepankan kontinuitas perbaikan fundamental ekonomi guna membangun daya saing, kredibilitas dan impresi positif di mata komunitas usaha global. Korupsi sebagai musuh utama pemerintah wajib diberantas dengan tegas tanpa tendensi segelintir golongan. Tak hanya itu, konektivitas infrastruktur yang memadai juga turut memainkan peran penting dalam mendukung proses investasi di dalam negeri.  
Kedua, menjamin kepastian hukum, restrukturisasi lembaga, deregulasi dan debirokratisasi kebijakan penanaman modal menjadi hal yang patut diprioritaskan. Bank Dunia dalam Ease of Doing Business (EODB) indeks menilai kemudahan berbisnis Indonesia berada di peringkat 91 dari 190 negara di Kawasan Asia Pasifik, naik 15 poin yang sebelumnya rangking 106. Dedikasi pemerintah dalam pencapaian sejauh ini tentu patut diapresiasi.  Namun, Indonesia masih tertinggal di bawah negara-negara lima besar EODB seperti New Zealand, Singapura, Hong Kong, China, dan Korea. Untuk itu, pemerintah perlu terus meluncurkan berbagai terobosan kebijakan yang komprehensif dan integratif antara pemerintah pusat dan daerah guna memudahkan para investor. Hal ini juga bertujuan menghindari terjadinya distorsi regulasi dan degradasi hukum.
Ketiga, memastikan keamanan, stabilitas sosial dan politik agar tercipta hawa investasi yang kondusif dan atraktif. Maraknya aksi unjuk rasa di sejumlah daerah dapat menjadi faktor yang mengendurkan gairah investor untuk berinvestasi. Pemerintah harus sanggup meredam friksi di masyarakat dengan merangkul semua elemen untuk mencegah polemik yang berkepanjangan.
Keempat, pemerataan segmen investasi yang tak hanya condong ke sektor industri, pendampingan dan proteksi UMKM dalam negeri agar mampu bersaing, hingga reformasi regulasi normatif terkait pengelolaan lahan dan limbah untuk menekan semua dampak negatif investasi. Yang terakhir, penguatan soliditas jajaran pemerintah pusat dan daerah, lembaga kementerian terkait hingga stakeholders dalam dan luar negeri. Kolaborasi, harmonisasi, dan koordinasi wajib dipupuk. Dengan demikian, hadirnya investasi diharapkan dapat terus mengerek stimulus positif lalu memacu pergerakan roda-roda pembangunan bagi kemajuan perekonomian bangsa Indonesia.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar