Rabu, 12 Juli 2017

Senyum Lastri di Cangkir Kopi


Senyum Lastri di Cangkir Kopi
Oleh Amir Syam*

Suhari termangu. Di teras rumahnya kini ia suka menghabiskan waktu. Sepanjang pagi hingga malam, ia bersarung duduk tepekur dibungkus sepi. Menanti kedatangan seseorang dari pohon mangga dekat pagar rumah. Sesekali tetangganya yang kebetulan lewat menyapanya. Ada yang berniat basa-basi atau sekedar mengajak Suhari ke warung kopi. Tapi ia tak terbit selera.
Sudah hampir sebulan lamanya senyum di wajah Suhari redup. Pudar dikunyah Lastri, istrinya. Semenjak kepergian Lastri entah kemana, Suhari seolah tak bergairah lagi untuk hidup. Ia tak lagi ke sawah merawat padi-padinya yang siap diketam atau ke ladang untuk mengurus pisang dan ubi kayunya.
Dicerupnya lamat-lamat rokok kreteknya itu. Pikirannya terus bertanya dimanakah gerangan Lastri berada. Tatap matanya yang kosong melanglang lepas melewati pagar, pucuk daun, membumbung di genting tetangga lalu jauh ke ufuk senja tak bertepi. Sungguh kasihan Suhari. Raut mukanya mulai menampakkan tulang pipinya. Kulitnya menghitam. Kumis dan jenggotnya memutih tak terawat. Mengapa ia tega sekali meninggalkanku? Batinnya membuncah.

Padahal dulu, Suhari lelaki pekerja keras. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke sawah. Pulangnya selalu dengan perasaan senang disapa Lastri.
“Lihat apa yang Abang bawa, Lastri.”                           
“Banyak sekali pisang dan singkongnya, Bang. Bisa untuk makan sebulan.”
Ia teringat istrinya. Sontak dicampakannya puntung rokok itu lalu berjalan gontai meninggalkan teras. Bayang-bayang Lastri acap menyergapnya. Tak kenal lelah.
Semuanya bermula saat ia pulang dari sawah siang itu. Entah angin apa yang berhembus. Lastri mendadak ingin pulang menemui orang tuanya. Ibunya sakit. Suhari pun mengizinkannya. Gugus waktu luruh. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Lastri tak kunjung pulang. Ia lalu berangkat ke kampung Lastri. Betapa terkejutnya ia setibanya di sana.
“Kalau begitu kemana Lastri pergi? Sudah sebulan lalu ia pamit padaku katanya ingin menengok ibu yang sakit” Suhari tergeragap. Panik. Bingung. Tak mendapati Sulastri. Keluarga Lastri dibuat kalang-kabut.
“Apakah kau ada masalah dengan Lastri?”Tanya ibu mertuanya.
“Tak ada sedikitpun masalah yang terjadi antara aku dan Lastri, Bu.”
“Lalu kemana Lastri?” Seketika air mata ibu mertuanya pecah. Merintih. Tersengut-sengut.
Suhari tak bisa menjawab. Ia kalut. Mengapa semua ini menimpanya? Sejak menikah lima tahun lalu, tak pernah ada cekcok yang luar biasa antara ia dan istrinya. Semuanya rukun sentosa. Beribu tanda tanya bergelayut dalam benaknya. Tak mungkin Lastri setega itu? Tak mungkin ia lari dengan selingkuhannya? Apakah ia diculik? Apakah ia pergi bekerja ke luar negeri? Beragam pertanyaan yang tak tentu arah menohok hati dan pikirannya.
Orang-orang kampung penasaran tentang kepergian istri Suhari. Sesekali jika ada yang bertanya ia hanya menjawab bahwa istrinya sedang pulang kampung. Namun  lama kelamaan mereka  pun tahu bahwa Suhari berdusta.
Saban hari, ia termenung di teras. Sesekali paras Lastri hadir kala ia menyeruput secangkir kopi. Cangkir itu dibelikan istrinya dulu saat baru menikah. Akh, pikirannya digiring sosok Lastri yang seolah-olah menghampirinya, menyodorkan secangkir kopi dibalut senyum lalu duduk di sampingnya. Diciumnya kening Lastri. Lalu ia beranjak meraih cangkul, keranjang serta air minum yang selalu disiapkan Lastri sebelum ia berangkat ke sawah. Suhari rindu masa-masa itu.  
“Hati-hati, Bang. Jangan lupa makan siang di rumah. Nanti Lastri buatkan tempe dan sayur asam kesukaan Abang.”
Jika dikenang-kenang betapa manis Lastri. Tapi ia tak habis pikir kenapa bisa istrinya yang tak pernah sekalipun dicaci dan dipukulinya itu pergi meninggalkannya. Ia kembali menangis. Meratap sesenggukan. Tersedu-sedu. Tak mampu lagi ia membendung air matanya. Semuanya tumpah. Susah hati. Kopinya dingin.
***
Genap dua bulan Lastri meninggalkan Suhari. Hening dan kosong. Suhari nampak kurus kering, rambutnya kian lebat. Ia seolah hilang harapan. Mengapa kau pergi meninggalkanku? Tak bahagiakah kau denganku? Adakah kata atau sikapku yang salah? Oh Lastri, tega nian kau pada suamimu ini? Masih ingatkah kau saat-saat kita pergi ke Pasar Malam dulu? Lupakah kau dengan masa-masa indah kita itu? Tak tahukah kau, bahwa ridho Tuhan ada pada keridhoan suamimu? Oh Lastri, tak takutkah kau akan dosa atas kedurhakaan pada suami? Isi kepalanya berkecamuk.
Suhari memberanikan diri keluar rumah. Ia akan ke Kota. Mencari Lastri. Andaikata, ia mati disana, ia ikhlas. Harga dirinya runtuh. Istri yang menjadi tanggung jawabnya kini tak tahu keberadaannya.
Dengan tekad yang kuat, Suhari berangkat ke Kota. Pagi-pagi benar ia sudah naik bis selama delapan jam. Setibanya di Kota, ia bingung hendak memulai dari mana awal pencarian belahan jiwanya.
Langkahnya terseok-seok mencari Lastri. Sudah beberapa hari ia di Kota. Putus asa mulai menghinggapi diri. Lastri tak kunjung ada. Dipegangnya foto Lastri kuat-kuat. Ditunjukkannya kepada siapa pun yang ditemuinya. Tak ada yang tahu. Malah sebagian orang memberikannya uang.
Sudah hampir seminggu ia di Kota. Tak ada hasil yang merekahkan kalbu. Suhari pasrah. Hidupnya sudah tak berarti lagi. Oh Tuhan, maafkan aku tak bisa menjaga amanahmu? Cabut saja nyawaku, Tuhan! Tak ada lagi artinya aku hidup tanpa Lastri.
Suhari mengutuki dirinya sendiri. Ia takluk di pusaran badai hidup. Kakinya tak mampu lagi melanglang mencari Lastri. Mungkin Lastri sudah mati. Tak ada gunanya aku mencarinya di dunia ini. Lebih baik kususul ia ke dunia sana, pikirnya. 
Ia kembali lagi ke desa dengan tangan hampa. Nihil.
Jalan yang dipilihnya kini sudah keukeuh. Bulat utuh. Sempurna. Tak bisa tidak. Mati, menjadi pilihannya yang terakhir. Kepergian Lastri tak hanya merenggut senyumnya bahkan akan menjemput nyawanya.
Malam itu, dengan memenjamkan mata, sebilah pisau diarahkan perlahan ke tubuhnya. Mulutnya terkatup. Ia menggerakkan pisau itu tepat ke pusarnya. Sontak, suara ketukan pintu menggagalkan rencananya. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu berharap Lastri datang bak peri penyelamat.
“Ada apa, Sarmin, malam-malam begini kau ke rumahku, hah?”
“Maaf Bang Hari, aku ingin pinjam pacul.”
“Disana…Kalau sudah kau pakai, taruh saja ditempatnya semula.”
Suhari menunjuk ke samping rumah, menutup pintu lalu beringsut masuk seperti keong. Lunglai. Pacul itulah yang ia gunakan untuk mengais rezeki. Menafkahi Lastri. Sejurus, matanya berkaca-kaca. Malam itu ia terisak hingga pagi.
Mulai malam itu, berulang kali ia coba mati tapi tak jadi. Dulu ia sempat ingin bunuh diri di pohon. Tapi gagal karena ada sarang lebah. Kontan ia lari terbirit-birit. Pernah juga Suhari ingin melompat dari kios klontong lantai dua, tapi urung. Ia dipaksa turun oleh petugas keamanan. Pernah juga ia berniat melompat ke sungai. Tapi batal, baru hendak melompat seekor buaya dilihatnya di seberang. Ada juga rencana menenggak racun, namun kandas juga akhirnya karena wajah Lastri tersemburat di botol racun. Suatu ketika ia menabrakkan dirinya di jalan raya. Beruntung waktu itu ia ditabrak motor dan hanya luka lebam di kaki dan tangan. Tak jadi mati. Ia mengutuki diri.
Hingga akhirnya Suhari bertemu dengan seorang kakek yang tak dikenalnya di warung kopi. Ia menyapa Suhari lalu mereka berkisah. Suhari meluapkan kegundahan hatinya dan niatnya bunuh diri yang selalu patah pucuk di tengah jalan. Ia merasa betapa tak berharganya dirinya. Ia tak layak hidup. Tuhan tak punya belas kasihan padanya.
 “Aku paham bagaimana rasanya ditinggal istri, Suhari.” Kakek itu duduk memandangnya lekat-lekat. Sorot matanya berpaut dengan Suhari. Suaranya parau. Suhari menyeringai datar lalu tertegun. Diam. Membisu.
“Tapi hidup harus terus berjalan. Tak tahukah kau betapa murkanya Tuhan jika kau bunuh diri?”
“Jahanam tempatmu, Suhari. Penderitaan tiada akhir di dunia hingga akhirat.” Suhari menunduk.
“Tahukah kau betapa berharganya dirimu itu?”
Suhari mendongakkan kepalanya. Hanya menatap sekilas. Lalu menyeruput kopinya.
“Maukah kau menjual sepasang bola mata, jantung, hati, ginjal dan kulitmu kepadaku?”
Suhari tergeragap.
“Akan kubeli semuanya seharga lima milyar.”
Suhari terbelalak tak habis pikir. Kakek itu pun lalu bercerita bahwa saat ini sedang marak kasus bunuh diri, penculikan anak, penjualan organ tubuh hingga kasus korupsi. Tak lama lelaki tua itu pun pamit. Suhari tertegun sembari memandangi punggung kakek itu yang bergerak menjauh. Lamat-lamat makin jauh lalu sirna bersama kesiur angin. Suhari mengitari bibir cangkir kopi dengan telunjuknya, ada senyum Lastri terukir disana. Suhari pulang.
                                                                                                            Korea, 21 Maret 2017
*Amir Syam adalah nama pena dari Amir Tjolleng. Saat ini ia tengah menempuh studi S3 di Jurusan Teknik Industri Universitas Ulsan, Korea Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar