Senyum
Lastri di Cangkir Kopi
Oleh Amir Syam*
Sudah hampir sebulan
lamanya senyum di wajah Suhari redup. Pudar dikunyah Lastri, istrinya. Semenjak
kepergian Lastri entah kemana, Suhari seolah tak bergairah lagi untuk hidup. Ia
tak lagi ke sawah merawat padi-padinya yang siap diketam atau ke ladang untuk mengurus
pisang dan ubi kayunya.
Dicerupnya lamat-lamat
rokok kreteknya itu. Pikirannya terus bertanya dimanakah gerangan Lastri
berada. Tatap matanya yang kosong melanglang lepas melewati pagar, pucuk daun, membumbung
di genting tetangga lalu jauh ke ufuk senja tak bertepi. Sungguh kasihan
Suhari. Raut mukanya mulai menampakkan tulang pipinya. Kulitnya menghitam.
Kumis dan jenggotnya memutih tak terawat. Mengapa ia tega sekali
meninggalkanku? Batinnya membuncah.
Padahal dulu, Suhari lelaki
pekerja keras. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke sawah. Pulangnya selalu
dengan perasaan senang disapa Lastri.
“Lihat
apa yang Abang bawa, Lastri.”
“Banyak sekali pisang
dan singkongnya, Bang. Bisa untuk makan sebulan.”
Ia teringat istrinya.
Sontak dicampakannya puntung rokok itu lalu berjalan gontai meninggalkan teras.
Bayang-bayang Lastri acap menyergapnya. Tak kenal lelah.
Semuanya bermula saat
ia pulang dari sawah siang itu. Entah angin apa yang berhembus. Lastri mendadak
ingin pulang menemui orang tuanya. Ibunya sakit. Suhari pun mengizinkannya. Gugus
waktu luruh. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Lastri tak kunjung
pulang. Ia lalu berangkat ke kampung Lastri. Betapa terkejutnya ia setibanya di
sana.
“Kalau begitu kemana
Lastri pergi? Sudah sebulan lalu ia pamit padaku katanya ingin menengok ibu
yang sakit” Suhari tergeragap. Panik. Bingung. Tak mendapati Sulastri. Keluarga
Lastri dibuat kalang-kabut.
“Apakah kau ada masalah
dengan Lastri?”Tanya ibu mertuanya.
“Tak ada sedikitpun
masalah yang terjadi antara aku dan Lastri, Bu.”
“Lalu kemana Lastri?”
Seketika air mata ibu mertuanya pecah. Merintih. Tersengut-sengut.
Suhari tak bisa
menjawab. Ia kalut. Mengapa semua ini menimpanya? Sejak menikah lima tahun
lalu, tak pernah ada cekcok yang luar biasa antara ia dan istrinya. Semuanya rukun
sentosa. Beribu tanda tanya bergelayut dalam benaknya. Tak mungkin Lastri
setega itu? Tak mungkin ia lari dengan selingkuhannya? Apakah ia diculik?
Apakah ia pergi bekerja ke luar negeri? Beragam pertanyaan yang tak tentu arah menohok
hati dan pikirannya.
Orang-orang kampung
penasaran tentang kepergian istri Suhari. Sesekali jika ada yang bertanya ia
hanya menjawab bahwa istrinya sedang pulang kampung. Namun lama kelamaan mereka pun tahu bahwa Suhari berdusta.
Saban hari, ia termenung
di teras. Sesekali paras Lastri hadir kala ia menyeruput secangkir kopi. Cangkir
itu dibelikan istrinya dulu saat baru menikah. Akh, pikirannya digiring sosok
Lastri yang seolah-olah menghampirinya, menyodorkan secangkir kopi dibalut
senyum lalu duduk di sampingnya. Diciumnya kening Lastri. Lalu ia beranjak meraih
cangkul, keranjang serta air minum yang selalu disiapkan Lastri sebelum ia
berangkat ke sawah. Suhari rindu masa-masa itu.
“Hati-hati, Bang.
Jangan lupa makan siang di rumah. Nanti Lastri buatkan tempe dan sayur asam
kesukaan Abang.”
Jika dikenang-kenang
betapa manis Lastri. Tapi ia tak habis pikir kenapa bisa istrinya yang tak
pernah sekalipun dicaci dan dipukulinya itu pergi meninggalkannya. Ia kembali
menangis. Meratap sesenggukan. Tersedu-sedu. Tak mampu lagi ia membendung air
matanya. Semuanya tumpah. Susah hati. Kopinya dingin.
***
Genap dua bulan Lastri
meninggalkan Suhari. Hening dan kosong. Suhari nampak kurus kering, rambutnya kian
lebat. Ia seolah hilang harapan. Mengapa kau pergi meninggalkanku? Tak
bahagiakah kau denganku? Adakah kata atau sikapku yang salah? Oh Lastri, tega
nian kau pada suamimu ini? Masih ingatkah kau saat-saat kita pergi ke Pasar
Malam dulu? Lupakah kau dengan masa-masa indah kita itu? Tak tahukah kau, bahwa
ridho Tuhan ada pada keridhoan suamimu? Oh Lastri, tak takutkah kau akan dosa
atas kedurhakaan pada suami? Isi kepalanya berkecamuk.
Suhari memberanikan
diri keluar rumah. Ia akan ke Kota. Mencari Lastri. Andaikata, ia mati disana,
ia ikhlas. Harga dirinya runtuh. Istri yang menjadi tanggung jawabnya kini tak
tahu keberadaannya.
Dengan tekad yang kuat,
Suhari berangkat ke Kota. Pagi-pagi benar ia sudah naik bis selama delapan jam.
Setibanya di Kota, ia bingung hendak memulai dari mana awal pencarian belahan
jiwanya.
Langkahnya terseok-seok
mencari Lastri. Sudah beberapa hari ia di Kota. Putus asa mulai menghinggapi
diri. Lastri tak kunjung ada. Dipegangnya foto Lastri kuat-kuat. Ditunjukkannya
kepada siapa pun yang ditemuinya. Tak ada yang tahu. Malah sebagian orang
memberikannya uang.
Sudah hampir seminggu
ia di Kota. Tak ada hasil yang merekahkan kalbu. Suhari pasrah. Hidupnya sudah
tak berarti lagi. Oh Tuhan, maafkan aku tak bisa menjaga amanahmu? Cabut saja
nyawaku, Tuhan! Tak ada lagi artinya aku hidup tanpa Lastri.
Suhari mengutuki
dirinya sendiri. Ia takluk di pusaran badai hidup. Kakinya tak mampu lagi melanglang
mencari Lastri. Mungkin Lastri sudah mati. Tak ada gunanya aku mencarinya di
dunia ini. Lebih baik kususul ia ke dunia sana, pikirnya.
Ia kembali lagi ke desa
dengan tangan hampa. Nihil.
Jalan yang dipilihnya
kini sudah keukeuh. Bulat utuh. Sempurna.
Tak bisa tidak. Mati, menjadi pilihannya yang terakhir. Kepergian Lastri tak
hanya merenggut senyumnya bahkan akan menjemput nyawanya.
Malam itu, dengan
memenjamkan mata, sebilah pisau diarahkan perlahan ke tubuhnya. Mulutnya
terkatup. Ia menggerakkan pisau itu tepat ke pusarnya. Sontak, suara ketukan
pintu menggagalkan rencananya. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu berharap Lastri
datang bak peri penyelamat.
“Ada apa, Sarmin, malam-malam
begini kau ke rumahku, hah?”
“Maaf Bang Hari, aku
ingin pinjam pacul.”
“Disana…Kalau sudah kau
pakai, taruh saja ditempatnya semula.”
Suhari menunjuk ke samping
rumah, menutup pintu lalu beringsut masuk seperti keong. Lunglai. Pacul itulah
yang ia gunakan untuk mengais rezeki. Menafkahi Lastri. Sejurus, matanya
berkaca-kaca. Malam itu ia terisak hingga pagi.
Mulai malam itu, berulang
kali ia coba mati tapi tak jadi. Dulu ia sempat ingin bunuh diri di pohon. Tapi
gagal karena ada sarang lebah. Kontan ia lari terbirit-birit. Pernah juga
Suhari ingin melompat dari kios klontong lantai dua, tapi urung. Ia dipaksa
turun oleh petugas keamanan. Pernah juga ia berniat melompat ke sungai. Tapi
batal, baru hendak melompat seekor buaya dilihatnya di seberang. Ada juga rencana
menenggak racun, namun kandas juga akhirnya karena wajah Lastri tersemburat di
botol racun. Suatu ketika ia menabrakkan dirinya di jalan raya. Beruntung waktu
itu ia ditabrak motor dan hanya luka lebam di kaki dan tangan. Tak jadi mati.
Ia mengutuki diri.
Hingga akhirnya Suhari
bertemu dengan seorang kakek yang tak dikenalnya di warung kopi. Ia menyapa
Suhari lalu mereka berkisah. Suhari meluapkan kegundahan hatinya dan niatnya
bunuh diri yang selalu patah pucuk di tengah jalan. Ia merasa betapa tak
berharganya dirinya. Ia tak layak hidup. Tuhan tak punya belas kasihan padanya.
“Aku paham bagaimana rasanya ditinggal istri,
Suhari.” Kakek itu duduk memandangnya lekat-lekat. Sorot matanya berpaut dengan
Suhari. Suaranya parau. Suhari menyeringai datar lalu tertegun. Diam. Membisu.
“Tapi hidup harus terus
berjalan. Tak tahukah kau betapa murkanya Tuhan jika kau bunuh diri?”
“Jahanam tempatmu,
Suhari. Penderitaan tiada akhir di dunia hingga akhirat.” Suhari menunduk.
“Tahukah kau betapa
berharganya dirimu itu?”
Suhari mendongakkan kepalanya.
Hanya menatap sekilas. Lalu menyeruput kopinya.
“Maukah kau menjual
sepasang bola mata, jantung, hati, ginjal dan kulitmu kepadaku?”
Suhari tergeragap.
“Akan kubeli semuanya seharga
lima milyar.”
Suhari terbelalak tak
habis pikir. Kakek itu pun lalu bercerita bahwa saat ini sedang marak kasus bunuh
diri, penculikan anak, penjualan organ tubuh hingga kasus korupsi. Tak lama lelaki
tua itu pun pamit. Suhari tertegun sembari memandangi punggung kakek itu yang
bergerak menjauh. Lamat-lamat makin jauh lalu sirna bersama kesiur angin. Suhari
mengitari bibir cangkir kopi dengan telunjuknya, ada senyum Lastri terukir
disana. Suhari pulang.
Korea, 21
Maret 2017
*Amir Syam adalah nama pena dari Amir
Tjolleng. Saat ini ia tengah menempuh studi S3 di Jurusan Teknik Industri
Universitas Ulsan, Korea Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar