Cerpen Amir Syam (Republika, 23 Juli 2017)
Ia terlahir ke dunia ini dengan nama Aji. Ya, panggil saja Aji. Pria
yang satu ini benar-benar senang berhitung. Ia akan menghitung apa saja
yang ditangkap oleh matanya, direkam oleh te linganya, dan dikecap oleh
hatinya. Misal, mengkalkulasi tapak kakinya ke sekolah, lalu mencacah
burung dissermurus paradiseus yang meliuk-liuk di langit cerah,
menganalisa sebaran awan putih yang terkatung-katung di langit biru,
meramal peluang hujan, membilang banyaknya dedaunan yang gugur per
satuan waktu, dan entah apa lagi.
Semua itu akan ia hitung sebisa mungkin. Pria dengan binar mata yang
selalu liar dan tajam menerobos apa saja itu kerap berhitung dengan
mulut kadang terkunci, komat-kamit, atau kombinasi keduanya.
Kebiasaannya ini diakari oleh rasa cintanya pada ilmu hitung yang
bergejolak sejak kecil. Hati dan pikirannya telah tertambat kuat pada
hal yang kadang tak disukai oleh teman-temannya.
“Berapa lama waktu tempuhmu hari ini?” tanya Badrun saat Aji memasuki
ruang kelas yang masih sepi. Pagi itu, Badrun belum lama tiba bersama
Indra.
“12 menit lebih 15 detik,” sahut Aji mantap seraya melirik arloji
hitam di tangan kirinya. Tanpa membuang tempo, ia kemudian menghitung
banyaknya petak-petak lantai berbentuk persegi 30 cm x 30 cm yang
ditapakinya.
“Hei, Aji! Bisakah kau sehari saja tidak berlaku aneh seperti itu?”
pekik Indra. Suaranya memecah keheningan kelas pagi itu. Lengang patah.
Damai pagi ternodai.
“Aku tak peduli dengan kata-katamu! Berhentilah mengurusi
kelakuanku!” Aji mengaum geram. Badrun kaget. Terperanjat. Indra
tersudut.
Aji sudah akrab betul dengan kata-kata Indra itu. Sejurus, ia menyapu
Indra dengan pandangan tajam. Sesuatu bergetar di dasar dadanya.
Mula-mula getarannya lemah. Tapi makin lama getaran itu kian
mendesir-desir dalam darahnya.
Kesiur angin pagi berhembus seolah ingin melumuri kalbu yang sesak.
Sesaat senyap pun hadir. Mereka berada pada pikirannya masing-masing.
Badrun terpaku. Indra membisu. Aji mengurai detik yang luruh.
***
Malam ini resah menggelayuti Aji. Sindiran Indra itu masih
mengiang-ngiang di telinganya. Kata-kata itu menelusup perlahan ke
ceruk-ceruk pikirannya, membuatnya mengail-ngail sesuatu yang terasa
menikam-nikam. Ia tak mampu memejamkan mata. Ah, ia mencoba menghitung
sesuatu, berharap bisa tertidur.
“Di mana aku? Mengapa aku berada di tempat seperti ini? Tempat apa ini? Tolong keluarkan aku dari sini!”
Lima….lima….lima….. Mengapa banyak sekali angka lima di tempat ini?
Ah… makhluk apa itu? Tiiidaaak….” Aji terjaga dari tidurnya. Ia
tergeragap. Keringat dingin pun mengucur deras. Mukanya pucat pasi.
Dipandangnya jam dinding kamar menunjukkan pukul 03.37 dini hari. Batin
dan benaknya berletupan. Baru kali ini ia bermimpi seaneh dan sekejam
itu. Ia limpung seketika.
***
“Aku seperti terjebak di dalam ruangan gelap yang dipenuhi oleh begitu banyak angka 5. Apa kau tahu arti mimpiku itu?”
“Selain angka 5, aku juga melihat seorang lelaki berpakaian hitam
terus mengejarku. Aku takut jika sesuatu yang buruk akan menimpaku.” Aji
gundah. Air mukanya tak menentu.
“Aku tidak begitu mahir menafsirkan mimpi, Ji. Tapi yang kutahu angka
5 itu sering disebut sebagai bintang jahat. Bintang yang tidak
menguntungkan setiap orang. Angka 5 adalah angka yang paling susah
dikombinasikan dan dipercaya membawa gangguan penyakit. Dalam ilmu Feng
Shui angka ini selalu diperangi, Ji.” ujar Badrun.
“Ceritakan padaku lebih banyak lagi tentang angka 5, Drun! Apa lagi
yang kau tahu tentang angka 5?” desak Aji penasaran berbaur khawatir.
Ada yang terasa berat menyesak.
“Jika angka itu muncul bersamaan dalam bagan tahunan dan bulanan maka
sangat diyakini akan menciptakan kecelakaan fatal.” Badrun mengeluarkan
isi otaknya dengan hati-hati.
“Ada yang lebih menakutkan selain angka 5, Ji. Yaitu angka 4. Angka
yang satu ini sering disejajarkan dengan huruf ‘D’ yang merupakan huruf
ke-4 dalam Alphabet. ‘D’ sendiri adalah huruf awal dari kata ‘Death’
atau ‘Die’ sehingga angka ini dianggap sebagai angka kematian. Angka
yang juga bisa berasal dari penjumlahan bilangan sial 13, Ji.”
“Jadi, angka 4 lebih sial dari angka 5? Begitu kanmaksudmu, Drun?”
“Ya, Ji.” Aku pernah membaca bahwa sebagian bangsa-bangsa di Asia,
khususnya di bagian utara mulai dari daratan Cina ke timur, angka 4
dipercaya merupakan simbol bencana, tidak mendatangkan keberuntungan,
dan berbagai kepercayaan yang mengarah pada sebuah kegagalan. Jika suatu
saat nanti kau pergi ke Korea, jarangkan kau temui gedung bertingkat
dengan nomor lantai 4.” Badrun mencoba meyakinkan Aji.
“Lalu, aku harus bagaimana menghadapi semua ini?”
“Kau tak perlu takut berlebihan. Mungkin itu hanya akibat dari
kebiasaanmu yang selalu menghitung apa saja yang tak penting untuk
dihitung. Begitu banyak nikmat Tuhan untuk kita. Dan, kau tahu kan bahwa
manusia tak mampu menghitung nikmat Tuhan? Syukur, itu kuncinya, Ji.”
Badrun meluncurkan solusinya.
“Aku bingung memikirkan mimpimu itu, Ji. Mengapa kau tak bermimpi
angka 1 yang dalam Feng Shiu dikenal sebagai bintang uang, angka 6 atau
bintang surga, atau angka 8 yaitu bintang kekayaan? Mengapa harus angka
5?” Badrun kini bertanya pada Aji. Aji terdiam sejenak lalu mencoba
menjawab.
“Kurasa itu masih lebih baik daripada angka 4,” ucap Aji lirih, menepis rasa takut.
“Ah, kau ini. Sudah lupakanlah semua itu. Kau tahu, kita tak boleh
percaya dengan hal-hal tahayul seperti ini. Cukup tahu saja, Ji. Tak
usah kita yakini. Lebih baik kau perbanyak shalat dan zikir. Dengan
begitu, kuharap kau akan tenang.”
Aji termenung sejenak lalu matanya melalang lepas menghitung
banyaknya dedaunan yang luruh dari atas pohon yang tegak menjulang di
depannya.
***
Malam acap kali bergulir dengan mengukir mimpi angka 5 yang getir.
Bunga tidur yang tak pantas disebut bunga itu tak hanya bertandang
sekali, tetapi berepetisi. Pikirannya seolah terbebani oleh mimpi
bintang penyakit itu. Belakangan ini, ia sering kalut kala terjaga dari
tidurnya. Tapi herannya, semangat menghitungnya semakin menjadi-jadi.
Kecintaannya pada angka kian bergelora penuh gairah. Aji menghitung tak
kenal henti. Ketika mimpinya itu datang kembali, hati dan pikirannya
disesaki dengan berbagai tanda tanya. Ia berusaha mengingat angka 1, 6,
dan 8 di siang hari agar berharap bisa berselayar di dunia mimpi dengan
angka-angka itu. Tapi usahanya itu sia-sia belaka. Mimpinya tetap saja
menyodorkan angka 5.
Kembali malam ini matanya belum bernafsu untuk terpejam. Perasaannya
berkata bahwa sesuatu yang luar biasa ganjil akan terjadi. Ia seperti
mencium aroma angka 5 yang dibumbui bau penyakit. Nalarnya berkelana
mengacak berbagai angka. Dibacanya berbagai buku yang terkait dengan
angka. Lembar demi lembar buku The History of Mathematics: From Mesopotamia to Modernity
karya Luke Hodgkin yang membongkar sejarah perkembangan matematika dari
masa Mesopotamia hingga abad modern, ia santap habis-habisan. Tak cukup
dengan buku itu, ia melahap juga buku Occult Numbers and Sacred Geometry yang mengupas tentang angka-angka gaib dan geometri keramat.
Tetapi tetap saja, perasaan itu masih terus bergelayut dalam dirinya.
Aji memacu otaknya mencari tahu apa tafsir mimpinya itu. Betapa
tidak, sudah hampir sepekan ia merasa dihantui oleh angka 5. Ia mencoba
menekan kegalauan yang terus menggendang benak dan sukmanya. Matanya
makin ganas terbius oleh rasa penasaran. Gugus waktu luruh seiring
keinginannya mencari arti mimpi itu. Diamatinya dengan sangat lekat
semua benda yang bertuliskan angka 5. Mulai dari NIP guru-gurunya, plat
nomor kendaraan yang tertera angka 5, baju pemain sepakbola dengan angka
5, nomor telepon instansi di papan reklame yang ada angka 5, sampai
dengan berbagai hal yang tertera angka 5. Nalarnya terus bekerja hingga
akhirnya pikirannya melayang pada alam yang belum pernah ia datangi.
***
“Kau mulai kurus. Wajahmu pucat. Apakah kau masih memikirkan mimpi
itu? Berhentilah memikirkan angka 5 itu. Itu hanya akan membebani
pikiranmu saja. Semoga kau cepat sembuh, Ji.” Kata-kata sayu Badrun
mengusap-ngusap celah jendela salah satu ruangan rumah sakit jiwa.
Kata-katanya beradu dengan tatapan kosong Aji. Beban pikiran yang tak
mampu dibendung telah menggiring Aji mencicipi suasana rumah pesakitan
itu.
Setelah hampir sepekan merasakan dinginnya kamar rumah sakit,
akhirnya Aji diizinkan rawat jalan oleh tim dokter. Ia hanya butuh waktu
sekitar tiga bulan untuk kembali sembuh. Tetapi ada yang berubah dari
perangainya. Ia kini tak lagi senang berhitung. Ya, ia sekarang tidak
lagi menghitung jejak langkahnya ke sekolah, mencacah burung dissermurus paradiseus
yang melayang di langit cerah, atau menganalisis banyaknya dedaunan
yang luruh seperti yang gemar ia lakukan dulu. Kini, ia seolah lupa pada
kebiasaannya itu. Pikirannya tak tergerus lagi oleh hal yang beraroma
angka. Semenjak kejadian itu, hidupnya terasa ringan tanpa beban. Namun,
itu semua ternyata tak bertahan lama seiring kesibukannya mencari-cari
sesuatu yang telah hilang dalam dirinya.
Pencariannya itu berlabuh pada suatu malam yang hitam lagi pekat ketika
mimpi serupa yang pernah menyergapnya hadir kembali dengan angka baru,
yaitu 4…4…4.
Amir Syam adalah nama pena dari Amir
Tjolleng. Saat ini, ia tengah menempuh studi S3 di Jurusan Teknik
Industri Universitas Ulsan Korea Selatan. Cerpen yang pernah ditulisnya
yaitu “Senyum Lastri di Cangkir Kopi” (Suara Merdeka, 2017) dan “Di Antara Pilihan” (Balai Bahasa Sulut, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar